Senandung-senandung cinta

Zainur Rifky
Chapter #9

Antara Andi dan Bahtiar

Yanti sendiri masih berharap ada harapan untuk mengembalikan nama baik dari Bahtiar. Ini bukan sekedar nama baik dari lelaki itu, tapi juga apa yang akan terjadi pada anaknya.

“Bukan hanya Bahtiar. Selama ini Hanum juga mendapat pandangan sebagai wanita murahan. Padahal, kenyataannya tidak seperti itu. Dia korban. Tidak ada niat dari Hanum untuk menggoda mereka.” Ibrahim sendiri angkat bicara terkait masalah itu. Apa yang sang istri pikirkan memang benar.

“Mas.”

“Fawwaz.” Yanti terkenjut ketika sang suami menyebuit nama itu. Rupanya, sang putra sudah berada di dekat mereka. Ibrahim sdendiri langsung mendekat dan banyak hal yang ingin dia sampaikan.

“Ada apa Abi?”

“Tak ada Nak. Hanya saja, aku ingin kau tak terlalu stres terkait apa yang terjadi.” Fawwaz ssendiri tak mengerti. Dia hanya ungin membantu Andi dan Fina untuk mengungkan apa yang terjadi.

“Abi, apa Abi melihat aku ada beban terkait apa yang diminta ummi?”

“Bukan begitu Nak.”

“Abi, bukankah Abi pernah bilang kalau kita harus saling membantu. Aku memang tidak bisa membantu banyak. Hanya yang kita mampu saja. Itu kan yang Abi pernah bilang.” Ibrahim sendiri mengiyakan. Dia sendiri merasa senang karena Fawwaz sudah tumbuh menjadi sosok yang begitu dewasa.

“Mas, biarkan anak kita istirahat! Dia pasti capek dengan kegiatannya sehari ini.” Ibrahim sendiri mengerti dan membiarkan putranya untuk istirahat walau sejenak.

***

“Imam, sudah berapa kali ayah bilang, jangan pernah menghina orang lain. Kenapa kau masih terus-terusan melakukan itu?” Sarjito sendiri marah ketika dirinya kembali mengetahui jika Imam kembali menghina Andi dan Bahtiar. Ingin sekali dia menghajar anak itu. Tapi, karena terikat janji dengan sang istri, dia tak bisa seenaknya menghajar Imam dengan semau dirinya.

“Ayah, tapi benar kan mereka seperti itu.”

“Imam, gak ada yang namanya anak haram. Yang ada kelakuan orang tuanya yang haram. Gak ada urusan dengan anak itu. Dan kau harus tau, kabar terkait abi dari Fina belum sepenuhnya bisa dibuktikan.”

“Ayah, kenapa Ayah membela mereka? Kenapa Ayah sepertinya ada sesuatu?”

“Nak, dengarkan ayahmu dulu! Apa kau punya bukti kalo ayah Fina melakukan perbuatan nista itu?”

“Itu sudah banyak tersebar dari mulut ke mulut. Apa yang dikatakan mereka pasti benar.” Imam sendiri membela diri agar tak lagi kena amarah dari Sarjito. Tapi, usaha itu sepertinya sia-sia. Sarjito semakin naik pitam dengan apa yang Imam katakan.

“Imam, jangan membemnarkan semua yang orang katakan! Kita tak bisa menuduh tanopa bukti. Apalagi, Nyai Rofi sendiri tak mempercayai Bahtiar berbuat nista seperti itu.” Imam sendiri terdiam. Kenapa Nyai Rofi tidak percaya? Jika memang beliau tidak percaya akan hal itu, mengapa tak sesumbar pada warga?

“Nyai Rofi tak pernah mengatakan hal itu.”

“Karena Nyai Rofi tidak punya cukup bukti. Beliau sendiri sudah memiliki keterangan dari beberapa saksi, tapi keterangan itu belum cukup kuat untuk membuktikan kalo Bahtiar tidak bersalah.”

“Tidak cukup kuat kan? Berarti lebih kuat yang mengatakan kalau lelaki itu bersalah.” Sarjito sendiri tak habis pikir. Kenapa sang putra begitu ambisi untuk menekan Bahtiar dengan kabar itu? Kenapa Imam begitu bangga dengan apa yang tersebar terkait Bahtiar?

“Imam, ayah tau kau mencintai Fina. Tak seharusnya kamu membuat abinya seperti itu.” Apa yang baru dikatakan oleh Sarjito membuat Imam terdiam dan tak bisa membalas. Fina sendiri pernah marah atas hal tersebut.

“Kenapa harus begitu? Bukankah kalo seorang perempuan yang sudah menikah baktinya pada suami?”

“Ayah gak tau apa yang jadi pemikiranmu selama ini. Perempuan harus memiliki wali saat dia ingin menikah. Walinya harus merestui pernikahan itu. Satu lagi Imam yang harus kau ingat, orang tua bukan hanya orang tua kandung. Mertua juga orang tua kamu. Gak etis kalau kau menikahi perempuan lalu tak mau mengakui keluarga istrimu sebagai keluargamu. Lewat pernikahan itu, keluarga wanita itu otomatis jadi keluargamu.” Imam sendiri tak bisa berkata apapun. Dia benar-benar mati kutu dan tak bisa mendebat.

“Ayah.”

“Ayah tak mau lagi berdebat denganmu.”

Lihat selengkapnya