Sedang tren manusia tak butuh pasangan sesama insan. Ketimbang nanti berantem, ketimbang nanti saling melapor polisi, mending mereka berumah tangga dengan hewan saja. Selapik seketiduran. Taruh kata bersama anjing, kucing, koala, dan bersama “sesama” yang lain. Di beberapa negara Eropa, seperti Inggris, musim itu telah lama tiba.
“Tapi bukan karena musim itu aku gandrung sama murai dan kacer,” pengakuan Sastro ketika terus-menerus didesak kapan akan menikahi Jendro, yaitu Jendrowati, teman SMP-nya dahulu waktu di Nganjuk.
“Mending saya jujur mencintai binatang, karena sukanya memang itu, ketimbang saya mengaku cinta teknologi dan menepuk dada sebagai Habibie masa depan,” kilahnya lagi.
Jendro pun tak keberatan kalau Sastro lebih mumet saat kehabisan jangkrik makanan burung-burungnya dibanding kalau tiada WA-nya dalam sepekan.
Suatu hari Jendro diajak Sastro mlaku-mlaku nang Tunjungan menemui Mus Mulyadi. Mumpung Bulan Bahasa, serta demi titik temu Polri dan TNI, mereka ingin bertanya ke “Gus Mus” itu tentang apa beda senjata melumpuhkan dan mematikan? Lha wong, kata orang, HP saja bisa menjadi senjata mematikan kalau sudah terpegang istri atau suami?
Orang mudah cemburu,
Kekasih, bila kurang mendengar cerita
tentang banyaknya pelaut
yang mencintai gunung.
Cita-cita ke Tunjungan itu tak kesampaian. Jendro ikhlas. Sastro berbelok arah dari tujuan bersama. Mereka akhirnya lebih lama ngendon hujan-hujanan di pasar burung. Di situ Sastro mencari pakan burung-burungnya: ulat Jerman, ulat Hongkong, dan ulat bambu.