Senandung Talijiwo

Bentang Pustaka
Chapter #2

Move On! Surya Telah Tenggelam: Kayu Soelastri

Duh, kawasan berpohon-pohon soelastri. Pohon yang tingginya bisa mencapai 30 meteran ini konon berasal dari Langenharjo, pemandian Sri Susuhunan Paku Buwono X.

Seluruh perempuan di sana rupa-rupa wajah dan tata rambutnya. Nano-nano. Namun, serupa dalam kata dan perbuatan. Perbuatan dan tutur kata mereka rupanya anu banget sehingga mendudukkan diri mereka sendiri untuk nggak cucuk kalau disakiti.

Itu saking tingginya harga tindak tanduk dan lambe mereka. Bertindak dan bertanduk menawarkan tasbih kayu soelastri kepada para wisatawan saja cara mereka menawan.

“Ini kayu soelastri, Pak. Tapi tak seperti mitosnya. Ini bukan pengasihan agar istri Bapak semakin mencintai Bapak,” tutur mereka. Pun dengan cara menawan. “Tapi jika Bapak berkenan, tasbih kayu soelastri yang lembut ini akan membuat Bapak tak tebersit sezarah debu pun untuk berbuat kasar ke perempuan.”

“Dan itu yang akan membuat istriku semakin takluk, Nduk?” Sastro tertunduk. Senyumnya simpul.

“Tapi sejatinya aku ini belum punya istri, Nduk .…”

Penjaja itu terperangah, walau samar-samar. Sangat samar sehingga di-zoom in secanggih apa pun perangahannya tak bakal ter-cyduk.

“Walau masih bujangan, aku ini pemimpin daerah, Nduk,” tutur Sastro, wisatawan yang disapa “si Bapak” itu. “Aku akan menerbitkan perda di daerahku: Laki-laki hanya boleh menangis ketika menyesal karena pada masa lalu sudah menyakiti apalagi sampai memutus ceweknya. Tangisan di luar alasan itu dinyatakan ilegal. Tangisan karena takut bom adalah tangis ilegal. Dan lain-lain tangis yang tak perlu. Polisi-Airmata akan memantau ini .…”

Jendrowati “si penjual tasbih soelastri” hanya bisa tunduk. Ia pilin-pilin ujung rambutnya yang dikelabang dan dijatuhkan di dada kanan. Keningnya, tentu saja, agak mengernyit. Pasalnya, di kawasannya sendiri Jendro tak pernah menyaksikan ada laki-laki yang sampai tega menyakiti apalagi bablas memutus perempuan pasangannya. Padahal ...,

Lihat selengkapnya