SENATA

dreamer
Chapter #1

Un

Pagi ini tidak terlalu bagus, angin kencang dan awan mendung sedang melanda kota. Aku bisa melihatnya dengan jelas dari jendela dapur ketika sedang menyantap roti buatan bunda. Tapi itu bagi sebagian orang, bagiku suasana ini sangat sempurna untuk melakukan apapun, termasuk belajar di sekolah nanti.

“Frey, mau bareng ayah?.” Ayahnya kini sedang memakai jas kantornya. Aku menggelengkan kepala, menolak.

Suasana seperti sekarang lebih baik dinikmati dengan sepeda hijau kesayanganku bukan?

“Yaudah ayah berangkat duluan ya.”

“Frey juga mau berangkat sekarang Bun!.” Dengan buru-buru menghabiskan setengah roti dalam satu lahapan. Mengambil tas lalu mengaitkannya di pundak.

Bunda langsung menyerahkan bekal padaku, memasukkannya ke dalam tas ransel. “kali ini dihabiskan ya. Hati-hati di jalan.” Senyum lebar aku tunjukkan sebagai jawaban pada Bunda.

Dan disinilah aku sekarang, di sekolah tempatku menimba ilmu satu setengah tahun. 2 gedung berlantai tiga, satu gedung berlantai 5 dan satu gedung utama sebagai kantor dan aula juga lapangan basket tepat di tengah sekolah dan gedung berlantai 2 yang tepat disebelah lapangan. Sekolah yang besar dan populer di kota ini. Menurut yang lain, sangat sulit untuk bisa masuk kesini, juga sangat sulit untuk lulus. Entahlah, aku belum merasakannya sampai sekarang.

“Pagi, Freya.”

“selamat pagi, kak.”

“morning Frey.”

Dan beberapa lagi sapaan pagi yang biasa diutarakan padanya ketika melintasi koridor. Aku hanya menjawabnya beberapa, karena aku tak mengenal semuanya. Kelasku ada di lantai 2 di gedung paling tinggi, wilayah untuk kelas 11 jurusan IPA. Aku duduk dekat jendela, baris kedua dari depan. Masih ada 15 menit lagi sebelum masuk, para gadis sedang mengobrol tepat bangku disebelahnya, atau bahkan bergosip. Entahlah, bukan peduliku.

“Hey, cantik. Gak mau gabung bareng kita nih?.” Goda yang paling cantik disana, Karin, dan teman-temannya, sedang berbisik menggunjing.

“Engga, makasih.” Aku langsung memasang earphone di telinga, lalu mengeluarkan buku sketsa yang selalu ku bawa. Aku tau dengan jelas mereka tentu sengaja karena ingin mengejekku. Katanya aku termasuk kalangan populer disekolah, yang aku sendiri tak tau kenapa. Aku tidak sepintar Ares dari kelas sebelah yang selalu unggul dalam segala hal, tidak secantik Karin dengan segala keglamorannya. Karin merasa posisinya tersaingi, makanya sering kali mengganggu.

Bell masuk terdengar nyaring. Buku sketsa yang dicoret-coret aku tutup. Melepas kedua earpod dan memasukkannya ke dalam tas. Pak Albert masuk diikuti dengan seorang laki-laki yang tingginya bahkan melebihi Pak Albert. Ah, memang pak Albert saja yang lebih pendek. Aku hanya menoleh sekilas, lalu memandang lapangan basket di luar. Hanya anak baru, tak penting.

“Pagi anak-anak. Maaf menyita pelajaran fisika kalian sebentar, bapak akan mengenalkan kalian murid baru, pindahan dari Jakarta.” Pak Albert memberi isyarat pada anak itu untuk mengenalkan diri.

“Perkenalkan, nama saya Jevano Anata. Bebas kalian mau panggil apa.” Laki-laki itu tersenyum sampai kedua matanya menghilang. Tentu saja Karin dkk sudah berteriak tanpa memperdulikan Pak Albert di depannya.

“Kalau gitu silahkan cari tempat duduk.” Karin sudah mendorong Didi, laki-laki yang duduk di depannya untuk pindah. Tapi sayangnya, laki-laki putih dengan postur tinggi itu lebih memilih bangku kosong ketiga dekat jendela. Tepat dibelakangku.

Karin, Rina dan yang lainnya tentu melontarkan tatapan sinis mereka. Aku masa bodo, untuk apa memperdulikan mereka bukan.

Pak Albert izin pamit, entahlah aku tak mendengarkan. Yang pasti selanjutnya Pak Reihan, masuk menggantikannya dan memulai pelajaran Fisika.

☾☾☾

Ini sudah jam terakhir sebelum istirahat makan siang, pelajaran sejarah –yang paling membosankan menurutku- sedang berlangsung. Buku paket terbuka di atas meja, lengkap dengan catatan, tapi juga dilapisi selembar kertas A5 yang sudah penuh dengan coretan. Aku kembali menggambar ketika sudah tidak mengerti apa yang dijelaskan di depan.

“Aw.” Rintihku.

Satu kelas menatapku, “Maaf hehe.” Aku membungkuk kecil. Pak Han lanjut menjelaskan. Sedangkan aku menatap tajam seseorang yang sengaja menusuk punggungku dengan pulpen.

“Sorry-sorry hehe.” Ucap laki-laki itu dengan suara kecil, sambil menempelkan kedua tangannya dan membungkuk dibalik meja.

Lihat selengkapnya