Untuk kesekian kalinya Anye mengintip ke luar jendela cafe, memastikan sosok seorang lelaki suram yang menunggu di luar sana sudah enyah. Sayangnya lelaki itu masih di sana, duduk jongkok di bawah pohon angsana yang berdiri tegak di samping pintu masuk cafe ini. Sebuah cafe bernuansa Ghibli tak jauh dari salah satu kampus terkenal di Jakarta Selatan bernama Ata Marie, yang merupakan hidden gem dan menjadi salah satu tempat wajib bagi mahasiswa pecinta kopi, khususnya mahasiswa Universitas Matma Jaya. Namun tak banyak yang tahu cafe ini, sehingga semua bangkunya pun tak terisi penuh meski malam belum larut. Masih ada ada 3 meja kosong dari total 9 meja tersedia.
Anye memandang gelisah jam digital di tangan kanannya yang menunjukkan pukul 10 malam lewat 12 menit. Ia berganti melihat layar ponselnya, tidak ada notifikasi, padahal ia mengirim pesan ke beberapa temannya sejak setengah jam yang lalu. Kegelisahan semakin jelas di wajahnya, tangan kanannya dengan lugas menggulirkan menu pada ponselnya naik dan turun sementara kakinya bergoyang pelan tak henti di meja. Gadis itu menyesal karena lengah tak memperhatikan waktu, ia terlalu fokus mengerjakan skripsinya dan berkutat dengan laptop tanpa menyadari hari merangkak perlahan menuju malam. Hingga waktu sudah terlalu malam untuk ia pulang sendiri. Sebenarnya, kosan Anye tak jauh, bisa ia tempuh dengan berjalan kaki selama 12 menit. Masalahnya adalah pria yang dengan sabar menunggunya di luar cafe. Pria itu bernama Dipta, pria gila yang sudah mengikutinya sejak kelas 2 SMA hingga kini Anye hampir mengakhiri pendidikan perguruan tingginya.
Anye khawatir, jika ia nekat pulang sendiri sekarang, Dipta akan mengikutinya sampai kosan. Sebenarnya sejauh ini pria itu tidak pernah melakukan tindakan asusila terhadap Anye. Namun, Anye tetap tidak nyaman akan kehadiran Dipta yang seolah ingin membuat Anye menyadari dan menghargai eksistensinya dalam hidup Anye. Anye tidak hanya menyadarinya, namun sudah begitu muak akan kehadiran pria itu di setiap sudut hidup Anye. Apalagi kali ini sudah ketiga kalinya ia pindah kos gara-gara pria itu, meski kos yang sekarang cukup aman karena berupa rumah yang disewakan dan berada di salah satu komplek dengan pengawasan ketat. Tetap saja Anye tak mau kali ini Dipta tahu tempat ia tinggal. Anye masih larut dalam gelisahnya seraya mengutak-atik ponsel yang kosong tanpa notifikasi pesan maupun panggilan.
Tanpa Anye sadari, Gian, pemilik cafe ini, sudah sejak tadi memperhatikannya. Anye dan Gian hanya saling tahu nama, tapi tidak kenal dekat. Hanya sebatas pemilik cafe dan pelanggan, tak seperti mahasiswa lain di sini yang terkadang sengaja datang hanya untuk bertemu Gian. Meski tidak bisa dipungkiri, dengan visual Gian dan dengan postur tubuh yang cukup sempurna, ia sempat mempesona Anye seperti pelanggan cafe ini yang didominasi oleh mahasiswi. Namun, itu tak membuat Anye ingin dekat atau mengaguminya lebih lanjut seperti mahasiswi-mahasiswi lain. Ia sebatas saling sapa ketika datang ke cafe ini. Setidaknya dari beberapa cafe yang ada di sekitar kampus, hanya kopi susu gula aren di Ata Marie yang sesuai selera Anye, pun dengan tempat yang cukup tersembunyi hingga membuat cafe ini cukup tenang sebab tidak di pinggir jalan utama. Sangat pas untuk mengerjakan tugas, nongkrong bersama teman menunggu jam kuliah berikutnya atau sekedar menunggu malam tiba sebelum kembali disambut sepinya kosan. Jadi Anye dan teman-temannya menjadikan cafe ini salah satu posko nongkrong utama mereka dan Gian dengan senang hati menyambut mereka karena menjadi pelanggan tetap.
Gian akhirnya meninggalkan meja kasirnya dan menghampiri Anye. Menggeser kursi di hadapan Anye dan duduk di sana. Anye mengalihkan pandangannya dari ponsel ke Gian, kakinya masih bergoyang gelisah di bawah meja, namun ia berusaha tersenyum pada Gian.
“Tumben sendiri? Biasanya bareng Ridho atau Putri.” tanya Gian.
“Uhm, iya. Pada bimbingan, Kak.”
“Di kampus? Kamu nunggu mereka?”
“Gak, kebetulan mereka janjian sama dospem di luar, Kak.” jawab Anye tersenyum seraya melirik ke luar jendela, lalu kembali melirik ponselnya.
“Terus, kenapa belum pulang? Gak biasanya kan kamu sendirian? Ini udah malem loh. Kayaknya baru kali ini aku liat Anye sendirian, jadi kelihatan aneh.” tanya Gian lebih dalam karena melihat Anye yang gelisah sedari tadi.
Anye mengetuk layar ponselnya, ponselnya yang kembali menyala hanya menampilkan jam digital dan wallpaper idol kpop favoritnya. Masih tidak ada notifikasi. “Iya, Kak. Ini lagi nungguin respon anak-anak. Kebetulan aku chat dari tadi belum ada respon. Kayaknya masih pada bimbingan sih. Dito sama Nafia udah pulang soalnya.”
Gian merasakan meja yang bergetar karena kaki Anye yang masih bergoyang gelisah dari tadi, ia melihat Anye yang tidak fokus menjawab pertanyaannya karena beberapa kali mencuri lirik ke luar jendela. Akhirnya Gian menoleh, dan melihat sesosok laki-laki di bawah pohon. Gian mengernyit, rasanya laki-laki itu sudah cukup lama ia lihat di sana, tapi Gian lupa sejak kapan.