Sejak kecil, Damar sudah berbeda.
Ketika anak-anak lain bermain kelereng di halaman, ia duduk di depan kelir putih, memandangi bayangan wayang yang digerakkan angin sore.
Suatu sore, kakeknya — seorang dalang tua yang jarang berbicara — menatapnya lama dan berkata,
“Bayangan itu bukan hanya bentuk, Le. Kadang, ia punya roh yang lebih jujur dari pemiliknya.”
Sejak hari itu, Damar belajar berbicara dengan bayangan.
Suara saron pertama yang ia dengar bukan dari manusia.
Kata orang-orang desa, malam itu gamelan berbunyi sendiri — pelan, seperti sedang menguji.
Dan di antara tabuhan itu, Damar kecil duduk di tengah pendopo, menggenggam wayang kulit buatan kakeknya, tokoh Bima, tapi matanya memandang kosong ke layar kelir.
Tak ada guru, tak ada penonton.
Namun jemarinya bergerak pelan, dan bayangan wayang di layar itu bergerak seolah hidup.
Sejak saat itu, orang-orang menyebutnya “Dalang tanpa suara.”
Tapi kakeknya tahu, itu bukan pujian.
Itu pertanda.
Damar tumbuh menjadi dalang muda yang dikagumi.
Lembut tutur katanya, tenang gerak tangannya.