Malam itu tak ada angin.
Kabut turun dari bukit, menelan desa perlahan seperti doa yang tak disetujui langit.
Pendopo tua di tengah desa diterangi hanya oleh satu blencong, api kecilnya menari di udara lembap.
Damar duduk di kursi kayu jati, tangannya diikat kain putih.
Wajahnya tenang, tapi matanya redup seperti sumbu yang nyaris padam.
Wayang-wayangnya tergeletak di lantai — diam, seperti tahu bahwa malam itu bukan lagi panggung pertunjukan, melainkan penghakiman.
Empat lelaki desa berdiri di belakangnya.
Di tangan salah satunya tergenggam alat besi tua, berkarat di pinggirnya — gunting kodok, alat cukur tradisional yang sejak lama disimpan untuk upacara penyucian.
Bunyinya saat dicoba di udara terdengar seperti gigi logam yang menggigit pelan, krek... krek...
Suara itu membuat bulu kuduk siapa pun berdiri.
Seorang tetua berdiri di depan Damar, mengenakan kain hitam dan kalung dari biji sawo kecik.
Suaranya parau ketika berkata,
“Rambutmu telah menjadi pengikat.
Dengan ini, sumpah darah dalang akan ditebus.
Kau akan dijauhkan dari dunia yang mencintai,
dan dijadikan penjaga bagi yang tak bisa pergi.”
Tak ada yang berani menatap wajah Damar.
Mereka hanya menunduk, seolah takut bayangannya sendiri menolak melihat apa yang akan terjadi.