Sengkeran

Muhammad Haryadi
Chapter #5

Desa di Balik Kabut

Pagi itu seharusnya biasa saja. Mereka hanya hendak melanjutkan pemetaan di sekitar lembah timur — kawasan yang, menurut peta topografi, berupa jalur dataran kering dengan dua sungai kecil di sisi kiri.

Namun kompas-kompas mulai menunjukkan arah yang berbeda, dan matahari, entah kenapa, seperti menggantung lebih lama di satu tempat.

Rombongan berjalan menembus kabut tipis yang menggantung di antara pepohonan. Aruna memimpin di barisan depan bersama Pak Wiryo, dosen senior yang membawa peta kuno dari arsip museum.

Di belakang, mahasiswa-mahasiswa mulai lelah dan gelisah.

“Bu, sepertinya kita memutar arah yang sama,” ujar salah satu mahasiswa, suara napasnya berat, “Saya yakin tadi kita sudah lewat batu besar itu.”

Aruna menatap batu yang dimaksud — besar, berlumut, dengan ukiran samar yang hampir tak terbaca. Ia menelusuri dengan ujung jarinya, dan merasakan sesuatu yang tak seharusnya, batu itu terasa hangat, seolah menyimpan sisa kehidupan.

“Arahkan ulang koordinatnya,” katanya tenang. Namun dalam hatinya, ada sesuatu yang bergeser — sebuah rasa aneh yang tak bisa ia beri nama.

Langkah mereka terus menurun mengikuti aliran air kecil. Sampai akhirnya, pepohonan mulai jarang, dan di kejauhan tampak dinding batu tinggi yang menjulang seperti benteng purba. Di bawahnya, ada jalan tanah yang terhampar lurus, ditumbuhi rerumputan liar dan dipagari pohon kelapa tua yang melengkung seperti tangan menunduk.

“Desa?” bisik seseorang di barisan belakang.Tak ada yang menjawab. Namun semakin mereka mendekat, semakin jelas bentuknya, rangka-rangka rumah kayu, sebagian roboh, sebagian masih berdiri utuh dengan atap anyaman ijuk yang menghitam oleh usia. Semua tampak… terawat, tapi tak berpenghuni. Pintu-pintu terbuka sedikit, seolah baru saja ditinggalkan.

Lihat selengkapnya