Kabut malam itu turun seperti tirai, menelan jalan setapak yang mereka lalui. Udara basah menusuk tulang, membawa aroma tanah, dupa, dan sesuatu yang samar—seperti wangi melati dari masa yang jauh.
Rombongan arkeologi yang dipimpin lima dosen, dengan Aruna sebagai salah satunya, berhenti di tepi jalan berlumut. Tiga puluh tiga mahasiswa berdiri berdekatan, sebagian menggigil, sebagian berusaha menyalakan senter yang redup.
“Kalau kita terus berjalan, kita malah kembali ke jalur hutan barat,” ujar Pak Surya, dosen senior yang sudah ubanan.
Aruna mengamati peta yang kini tak berarti. Kompas berputar tak tentu arah, dan sinyal ponsel menghilang sejak dua jam lalu.
“Lihat, di sana…” bisik seorang mahasiswa, menunjuk ke arah bangunan di ujung kabut.
Sebuah rumah besar berdiri di antara rumpun bambu, sebagian temboknya retak tapi jendelanya masih utuh.
Anehnya, dari celah atap yang lapuk, cahaya temaram kuning seperti lampu minyak berpendar lembut.
Rumah itu tampak seolah baru saja ditinggali.
“Sepertinya itu satu-satunya tempat berlindung malam ini,” ujar Aruna tenang.
Namun, di matanya ada keraguan kecil—perasaan yang sulit dijelaskan.
Pintu rumah itu tidak terkunci, hanya tertutup rapat. Saat Pak Surya mendorongnya perlahan, suara engselnya berderit panjang, seperti keluhan seseorang yang terbangun dari tidur panjang.
Udara di dalamnya dingin, lembap, dan harum melati semakin kuat. Ruang utama luas, dipenuhi ukiran kayu dan kain batik tua yang tergantung di dinding. Sebuah meja kayu dengan teko tanah liat masih berdiri di tengah, dan di pojok ruangan berdiri cermin besar—penuh debu tapi tidak buram.
“Tempat ini seperti… menunggu seseorang,” gumam salah satu mahasiswa.
Tak ada yang menanggapi.