Angin malam menyelinap dari celah jendela, membawa bunyi yang aneh — seperti desir napas yang mencoba menirukan melodi. Rumah tua itu berderit perlahan setiap kali angin lewat, seolah dindingnya masih menyimpan suara-suara dari masa lalu. Aruna memandang langit dari sela papan yang bolong di atap. Bulan terbungkus kabut, memantulkan cahaya redup yang menempel di debu. Ia duduk di sudut ruangan, mencoba membaca catatan lapangan, tapi huruf-huruf di kertas itu terasa asing. Seperti tulisan orang lain.
Di sekelilingnya, para mahasiswa mulai terlelap. Beberapa meringkuk di bawah selimut tipis, sementara yang lain masih berbicara pelan, suara mereka bercampur dengan derit lantai. Namun di sela suara manusia itu, masih terdengar suara — irama samar yang ritmenya tak bisa dijelaskan.
Ding… deng… dung…
Aruna menegakkan tubuhnya, menatap sekeliling. Semua tampak sama — tapi udara seakan berubah. Terasa berat. Seperti rumah itu menahan napas.
Di seberang ruangan, Ratih — salah satu mahasiswinya — duduk menatap kosong ke arah jendela. Kelopak matanya setengah tertutup, tapi bibirnya bergerak perlahan, mengikuti sesuatu yang hanya bisa ia dengar sendiri.
Aruna memanggil pelan,
“Ratih?”
Tidak ada jawaban.