Pagi itu datang tanpa suara ayam, tanpa desir angin. Kabut masih bergelayut, seolah matahari ragu menembus batas desa. Rumah tua tempat mereka berlindung semalam berdiri diam—seperti menunggu sesuatu yang belum selesai.
Ratih masih terbaring di pojok ruangan, pucat, tubuhnya hangat oleh demam aneh. Ia tidak ingat apapun setelah menari malam itu. Beberapa mahasiswa lain sibuk berbisik, menatap Aruna dengan cemas, seolah menunggu jawaban dari seseorang yang juga tak mengerti.
Aruna menatap keluar jendela.
Di halaman, rerumputan tampak seperti tidak tumbuh semalam—menunduk, membentuk pola melingkar samar di tanah.
“Lingkar itu tidak ada kemarin,” bisik Aruna pelan.
Bagas, salah satu mahasiswa laki-laki yang paling tenang di antara mereka, mendekat. “Bu, ini kayak bekas pijakan, tapi… terlalu teratur.”
Aruna diam. Naluri akademiknya bekerja, tapi kali ini bukan untuk penelitian biasa. Ada sesuatu di balik rumah itu yang tidak bisa dijelaskan oleh data.
Menjelang siang, Aruna memutuskan untuk memeriksa bagian belakang rumah. Beberapa mahasiswa menolak ikut—alasan mereka sederhana: udara terasa berat, dan setiap langkah di lantai kayu menimbulkan gema aneh, seperti rumah itu punya napas sendiri.
Ia menyalakan senter kecil, menelusuri lorong sempit di belakang dapur. Dindingnya penuh jelaga. Namun di ujung lorong, di balik tumpukan anyaman bambu tua, Aruna melihat sebuah pintu rendah dari kayu jati, nyaris tertutup debu. Ia menunduk dan membuka kuncinya yang berkarat. Hawa dingin menyeruak dari balik pintu—dingin seperti udara di dasar sumur.