Kabut pagi di desa itu turun tanpa arah, menutup jalan tanah seperti tirai yang enggan terbuka.
Udara lembap menempel di kulit, membawa aroma tanah basah, dan samar-samar — wangi melati yang tak tahu dari mana asalnya.
Aruna duduk di tangga rumah tua itu, memandangi lapangan kosong di depan.
Ia memegang buku catatan kecil yang kini hampir penuh coretan, namun satu hal masih mengganggu pikirannya, di halaman terakhir, ia menulis sebuah nama — padahal ia tidak ingat pernah menuliskannya..“Damar.”
Tulisan itu rapi, beraturan, seolah memang disengaja. Tapi ia yakin, malam sebelumnya ia hanya mencatat tentang struktur rumah, bentuk atap, dan susunan batu di halaman belakang.
Tidak lebih.
Ia menatap tulisan itu lama, hingga embun di ujung jari membuat tintanya sedikit luntur.
Ada sesuatu di balik nama itu yang membuat dadanya terasa berat — seperti sedang memanggil kenangan yang bukan miliknya.
Siang itu, Aruna mengajak dua mahasiswa—Ratih dan Dion—menelusuri bagian belakang rumah tua. Reruntuhan gudang kecil ditemukan di bawah pohon beringin. Di dalamnya ada peti kayu, separuh lapuk, berisi pecahan kaca dan potongan kain kusam yang dililit benang merah.
“Kayak alat upacara ya, Bu?” tanya Dion, mencoba menyorot dengan senter ponselnya.
Aruna berjongkok, memperhatikan detailnya. “Bisa jadi. Tapi ini bukan perlengkapan upacara biasa. Lihat, benangnya dibelit searah jarum jam… Ini pola kuno Jawa, untuk mengikat roh.”
Ratih merinding. “Ibu yakin ini peninggalan manusia?”
Aruna diam sejenak sebelum menjawab, “Setiap peninggalan punya tangan pembuatnya. Tapi… tidak semua tangan itu masih hidup.”
Mereka menutup kembali peti itu dan mencatat lokasinya di peta.
Namun sepanjang perjalanan kembali ke rumah, Aruna merasa langkahnya berat — seolah tanah yang diinjak tidak ingin dilepaskan.