Sengkeran

Muhammad Haryadi
Chapter #10

Darah yang Mengingat

Hujan datang tanpa aba-aba. Langit mendung sejak pagi, tapi tak seorang pun menyangka hujan akan turun secepat itu — deras, seolah mengguyur habis semua suara di desa. Tanah di sekitar rumah tua berubah menjadi lumpur, dan udara dipenuhi aroma daun jati yang basah.

Aruna duduk di ruang tengah, menatap meja yang kini penuh kertas lembap dan catatan lapangan yang sebagian mulai pudar tintanya. Ia tidak lagi mencatat benda-benda kuno, tapi mencoba menelusuri pola. Semua yang mereka temukan — peti kayu, gunting kodok, kain merah, hingga ukiran topeng — seolah memiliki hubungan, tapi bukan dalam konteks arkeologi biasa.

Ia membuka kembali buku catatannya, membalik ke halaman yang semalam menampakkan tulisan itu, Damar.

Tulisan itu kini samar, tapi di bawahnya, ada goresan lain yang baru ia sadari, tiga huruf kecil, hampir tak terlihat, Lin.

Aruna menatapnya lama. Sesuatu dalam pikirannya bergetar, samar seperti gema dari masa yang jauh. Nama itu — Lin — terasa akrab, tapi bukan dari buku, bukan dari catatan.

Dari sesuatu yang lebih dalam.

Sore itu, Aruna mendatangi rumah kepala dusun setempat, seorang lelaki tua bernama Pak Rono yang sempat mereka temui saat pertama kali datang ke desa. Ia membawa foto beberapa artefak yang ditemukan di rumah tua, berharap bisa mendapatkan penjelasan. Pak Rono menatap foto-foto itu tanpa menyentuhnya.

Wajahnya mengeras saat pandangannya berhenti pada satu gambar, topeng kayu tanpa mata. Ia menelan ludah pelan, lalu berkata hampir berbisik, “Itu bukan topeng, Bu… itu tanda. Dulu, hanya dalang Sengkeran yang boleh membuatnya.”

Aruna mencondongkan tubuh. “Sengkeran? Nama itu sudah lama muncul di catatan saya, tapi… tidak ada di peta.”

Pak Rono tersenyum getir. “Karena itu bukan nama yang boleh disebut. Dulu, Sengkeran adalah tempat yang dikunci. Di sana, dalang terakhirnya… jatuh cinta pada roh penunggu kelir.”


Lihat selengkapnya