Sengkeran

Muhammad Haryadi
Chapter #11

Saat Waktu Menarik Nafasnya Sendiri

Udara pagi itu terlalu dingin untuk disebut pagi. Kabut menempel di kulit seperti uap napas yang tak mau pergi. Aruna membuka mata dengan kepala berat—ada denyut kecil di belakang pelipisnya, seperti habis begadang berhari-hari, padahal ia yakin semalam baru saja memejamkan mata. Cahaya yang masuk dari celah jendela pucat. Ia melirik jam tangannya, 07.12. Tapi suara jangkrik belum berhenti. Dan burung-burung… tidak ada satu pun yang berkicau.

Ia duduk perlahan, menyentuh lantai kayu yang dingin, sedikit lembap. Rumah itu masih sama—bau debunya, dinding tuanya, cermin retak di pojok ruangan yang kini tampak… utuh kembali. Ia menatap pantulannya. Bayangan dirinya di sana tidak sepenuhnya mengikuti gerakannya. Seolah… terjebak sepersekian detik di belakang waktu.

Aruna menarik napas dalam, menepis rasa aneh yang merayap di punggungnya.

“Mungkin karena kurang tidur,” gumamnya, lebih untuk menenangkan diri sendiri.

Teriakan memecah kesunyian. “Bu Aruna! Ratih nggak bangun-bangun!” Ia berlari ke ruang tengah. Ratih tergeletak di lantai, tubuhnya dingin, napasnya tipis seperti benang. Mata tertutup, tapi di wajahnya ada senyum samar—bukan senyum lega, tapi seperti seseorang yang sedang menatap sesuatu dari jauh.

“Ratih…” Aruna berlutut, menepuk pipinya perlahan. Gadis itu tidak bereaksi. Namun di tangannya, tergenggam kain kecil, setengah kusam, berpola lurik merah kecokelatan. Aruna mematung. Ia tahu motif itu. Lurik yang sama seperti selendang ibunya, yang pernah ia temukan di lemari rumah tua sebelum ibunya menghilang tanpa jejak bertahun lalu. Tangannya bergetar saat menyentuh kain itu. Dingin. Terlalu dingin untuk kain yang baru saja digenggam manusia hidup.

Hari itu, mereka mencoba tetap bekerja seperti biasa. Tapi dunia di sekitar mereka seperti lupa caranya bergerak. Jam tangan Dion berhenti di angka yang sama sejak pagi. Langit tetap kelabu, entah pagi atau sore. Suara jangkrik muncul bahkan di tengah hari, menggema dari balik sawah yang tak lagi tampak jelas di batas pandang.

“Bu Aruna…” Dion menatapnya dengan mata merah karena kurang tidur. “Kayaknya waktu di sini beda deh. Kaya… nyangkut gitu.”

Aruna ingin marah, ingin menertawakan ketakutan mereka—tapi bagaimana kalau itu benar?

Bagaimana kalau mereka memang nyangkut di tempat yang seharusnya tidak ada di peta? Di setiap langkahnya, Aruna merasa rumah itu bernafas pelan. Kayu di lantai berderak bukan karena angin, tapi karena sesuatu yang bergerak di bawahnya. Dan setiap kali ia lewat di depan cermin, pantulannya sedikit terlambat. Sedikit saja. Tapi cukup untuk membuat jantungnya berpacu.

Lihat selengkapnya