Sengkeran

Muhammad Haryadi
Chapter #12

Retakan di Dalam Kepala

Aruna tidak tahu lagi hari apa. Kabut di luar jendela tak pernah benar-benar hilang, menempel di kaca seperti ingatan yang menolak larut. Suara jangkrik sudah lenyap sejak malam kedua mereka di rumah itu. Yang tersisa hanya diam — tapi bukan diam yang menenangkan. Diam yang menunggu sesuatu.

Jam tangan semua orang mati. Aruna mencoba menepuknya, menggoyangnya, mengganti baterainya — tapi jarum selalu berhenti di waktu yang sama, 07.12. Ia tidak tahu kenapa angka itu terasa familiar, tapi setiap kali melihatnya, dadanya sesak, seolah paru-parunya dipenuhi kabut.

Kadang ia bangun dengan cahaya abu-abu seperti sore, tapi ketika menatap ke luar, langit sudah hitam lagi. Pagi dan malam kehilangan maknanya. Yang tersisa hanya rasa menggantung — seperti menunggu hujan yang tidak pernah datang.

“Bu… ini pagi apa malam?” tanya Ratih suatu waktu, pelan, seolah takut suaranya mengganggu sesuatu yang tak terlihat. Aruna tidak menjawab. Karena ia juga tidak tahu.

Keanehan datang tidak dalam bentuk hantu, tapi dalam hal-hal kecil yang pelan-pelan meretakkan logika. Satu cermin di ruang tengah selalu berembun, meski udara kering dan dingin. Gagang pintu kamar berpindah posisi — kadang di kiri, kadang di kanan. Dan papan lantai yang kemarin retak, pagi ini utuh kembali. Aruna mencoba mencatat semuanya di buku lapangan. Tulisan tangannya mulai goyah. Garisnya tidak lurus, tintanya terlalu tebal di beberapa bagian — seperti tangan orang yang sedang menahan gemetar. Ketika ia membaca ulang catatan semalam, di antara kalimat “struktur rumah kayu masih kokoh” dan “ada bekas abu di tungku,” muncul satu kalimat yang ia tidak ingat pernah menulis,

Aku sudah pernah di sini.

Aruna menatap kalimat itu lama. Tangannya dingin, dadanya terasa berat. Ia menutup buku itu dengan cepat — tapi jari-jarinya tetap bergetar. Ia berusaha menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam, tapi udara terasa seperti menolak masuk ke paru-parunya.

Malam itu, Aruna bermimpi. Atau mungkin bukan mimpi — karena setiap kali ia membuka mata, mimpi itu belum selesai. Ia berdiri di sebuah pendopo kosong. Lantainya basah oleh embun. Suara gamelan terdengar samar dari kejauhan: lambat, tapi menekan. Nada yang membuat dada bergetar bukan karena keindahan, melainkan karena kenangan.

Dari balik kelir, muncul bayangan seorang lelaki muda. Damar.

Tatapannya menembus, seperti sedang berusaha mengingat siapa Aruna. an di belakangnya, perlahan muncul sosok perempuan berselendang lurik, rambutnya panjang, wajahnya teduh tapi asing. Aruna ingin berteriak, tapi tenggorokannya kaku. Lidahnya seperti lumpuh. Karena perempuan itu— memiliki wajah ibunya.

Damar menunduk, menatap tanah, lalu berbisik tanpa suara, tapi Aruna mengerti,  “Kau datang untuk mengakhiri, bukan untuk memahami.”

Wayang-wayang di kelir mulai jatuh satu per satu. Suara kayu dan tali bersamaan, seperti tulang patah. Dan dalam sepersekian detik, semua berubah jadi hitam.

Lihat selengkapnya