Suara gamelan itu masih terdengar… entah dari mana. Nada-nadanya seperti menembus kulit kepala, menggema di dalam tengkorak. Aruna terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhnya — tapi ketika membuka mata, ia tidak tahu sedang berada di mana.
Atap di atasnya tampak sama, kayu tua, beberapa retak, cahaya lentera bergetar di ujung ruangan. Tapi udara di sekitarnya berbeda. Heningnya bukan hening rumah tua yang lembap, melainkan seperti hening di antara dua dunia.
Ia memanggil nama-nama mahasiswanya — Tak ada jawaban. Hanya bayangan kursi bergoyang sendiri di sudut ruangan, perlahan, seperti diayun tangan tak kasat mata.
Aruna bangkit dengan gemetar. Di luar, kabut menutup seluruh halaman. Tidak ada suara jangkrik, tidak ada angin, bahkan waktu pun terasa membeku. Setiap langkahnya di lantai kayu terasa seperti gema yang tidak mau berhenti.
“Ini cuma mimpi,” katanya pelan. “Tolong bilang ini cuma mimpi…” Tapi kenapa mimpi kali ini terasa lebih berat, lebih nyata? Ia mencubit lengannya — sakit. Bau kayu basah terasa tajam di hidung. Ia bahkan bisa mendengar detak jantungnya sendiri.
Aruna berjalan ke ruang tengah, dan di sanalah ia melihat sesuatu yang membuat tubuhnya membeku, ibunya. Berdiri di tengah ruangan, mengenakan kebaya putih, rambutnya disanggul rapi seperti di foto-foto lama.
“Ibu…?” suaranya pecah.
Perempuan itu menoleh perlahan. Tatapannya teduh, namun kosong — seperti menatap dari kedalaman waktu. “Kau tidak seharusnya kembali ke sini, Aruna,” katanya lirih. “Kau belum siap mengingat.”
Aruna menatapnya, air mata menetes tanpa sadar. “Kenapa, Bu? Aku cuma ingin tahu… apa yang sebenarnya terjadi.”