Sengkeran

Muhammad Haryadi
Chapter #14

Arsip yang Bernafas

Pagi ini turun perlahan, seperti enggan menyentuh bumi. Rumah ini masih diselimuti kabut, dan embun di dedaunan tampak seperti mata kecil yang mengintip. Ratih menjerang air, Dion duduk di serambi dengan buku catatan terbuka, sementara Bagas — yang semalam menggigil — kini tampak lemas, wajahnya pucat.

Aruna memperhatikan mereka dari ambang pintu. Sebagai dosen pembimbing, ia berusaha tampak tegar, tapi matanya sayu. Ia tidak tidur semalaman. Bayangan ibunya dan nama Lintang masih menggema di kepalanya.

Di meja kayu tempat mereka biasa mencatat hasil penelitian, tergeletak tumpukan berkas kuno yang ditemukan Dion semalam di gudang belakang rumah itu. Kertasnya lapuk, sebagian sudah menguning dan berlubang di tepinya.

“Bu, ini kayaknya penting,” kata Dion, menyerahkan satu bundel kecil. “Ada tulisan Jawa kuno, tapi beberapa bagian udah diterjemahkan.”

Aruna mengambilnya hati-hati. Tulisan tangan itu rapat dan indah. Di bagian atas halaman pertama tertera kata yang membuat darahnya berhenti sejenak, Ritual Sengkeran — Warisan Lintang.

Ia menelan ludah, mencoba membaca perlahan. Tulisan itu menjelaskan tentang tari penutup — sebuah persembahan untuk menjaga batas antara dua dunia. Tarian itu hanya bisa dilakukan oleh garis darah tertentu — darah yang memiliki tanda di tubuhnya sejak lahir. Tangannya bergetar. Ia teringat sesuatu. Bekas tanda lahir di pergelangan tangannya sendiri — bentuknya spiral kecil, seperti lingkaran air.

Ratih menghampiri, ikut membaca. “Bu, Lintang ini siapa, ya? Nama itu sering muncul di catatan. Tapi… nggak ada keterangan lengkap.” Aruna hanya menjawab lirih, “Kalau tebakan saya benar, Lintang mungkin bukan sekadar tokoh sejarah… dia bisa jadi darah saya sendiri.”

Mereka terdiam.

Dion menatap Aruna dengan ragu. “Maksud Ibu… Ibu keturunan orang yang bikin ritual Sengkeran itu?” Aruna tak menjawab. Ia menatap keluar jendela. Kabut di luar bergerak seperti bernafas.

Menjelang siang, Aruna dan dosen pendamping lainnya, Pak Seno, memutuskan meninjau gudang belakang rumah itu. Pak Seno adalah tipe akademisi keras — skeptis, rasional, tidak percaya hal-hal mistik. Tapi bahkan wajahnya berubah tegang saat melihat isi lemari tua yang baru saja mereka buka. Di dalamnya tersimpan kotak kayu jati dengan ukiran lambang matahari dan bulan bersilang.

Lihat selengkapnya