Sengkeran

Muhammad Haryadi
Chapter #15

Dua Waktu yang Saling Menatap

Suara hujan turun perlahan di atap rumah Sengkeran, tapi Aruna tidak lagi yakin itu hujan.

Bunyi tetes air di telinganya terdengar seperti irama gamelan yang lambat — ding… deng… dung…— seolah langit sedang memainkan musik untuk dirinya sendiri.

Ia duduk di lantai, di depan naskah yang terbuka di atas meja, menatap huruf-huruf kuno itu dengan pandangan kosong. Di matanya, tulisan itu tidak lagi terlihat seperti bahasa Jawa — tapi seperti bayangan bergerak. Setiap goresan tinta berubah menjadi tarian kecil, membentuk wajah seseorang, Lintang.

“Bu Aruna, dengar kita nggak?” Suara Dion terdengar samar. Tapi bagi Aruna, suaranya datang dari jauh, seperti lewat kabut tebal.

“Bu Aruna, jangan diem aja dong, Bu…” suara Ratih kali ini bergetar. “Dari tadi Ibu duduk aja di situ. Kami manggil nggak nyaut—”

Aruna menatap mereka. Tapi di matanya, wajah Dion dan Ratih sudah tidak lagi sama. Cahaya di sekeliling mereka berwarna keemasan, pakaian mereka berubah jadi lurik dan kain panjang. Dan di belakang Dion — atau siapa pun dia sekarang — berdiri sosok Damar, tegap, matanya hitam, memegang wayang di tangan kiri.

Aruna mundur pelan. “Jangan… jangan dekati aku…”

“Bu Aruna, ini kami!” Ratih berusaha menyentuh bahunya, tapi Aruna menepis dengan panik.

Ia tak tahu tangannya mengenai apa — hanya tahu Ratih terjatuh dengan suara keras, dan semua orang di ruangan menjerit.

Pak Seno yang baru masuk berlari menghampiri, wajahnya tegang. “Cepat ambilkan air! Aruna, kamu sadar nggak? Hei!” Tapi Aruna tidak mendengar lagi.

Bagi dirinya, ruangan itu sudah berubah. Lampu neon padam, digantikan cahaya obor. Dinding papan berubah menjadi kelir putih, dan di baliknya tampak bayangan orang-orang menari dalam pola yang tidak ia pahami. Mereka mengenakan topeng kayu, berputar perlahan di antara asap kemenyan.

Di tengah-tengah mereka, berdiri Lintang.

Perempuan itu mengenakan kebaya abu-abu, selendang melilit di bahu. Matanya hitam pekat, tapi ada kelembutan di sana — kelembutan yang menyesakkan dada. “Aruna,” katanya lembut, suaranya seolah datang dari dalam dada Aruna sendiri. “Jangan melawan. Kau tidak tersesat. Kau sedang pulang.”

Aruna menggeleng, air matanya jatuh. “Aku bukan kamu. Aku bukan bagian dari ini!”

Lihat selengkapnya