Kabut pagi menggantung berat di halaman rumah tua itu, menolak cahaya masuk sepenuhnya. Aruna duduk di depan meja kayu, dikelilingi tumpukan catatan penelitian, transkrip wawancara, dan selembar naskah lontar yang baru ditemukan di loteng — bertuliskan aksara Jawa halus, berjudul Ritual Sengkeran.
Ia membacanya perlahan, jantungnya berdebar mengikuti setiap suku kata:
“Sengkeran dudu panggonan, nanging pamutus. Yen ana tresna sing ora kena, wektu sing bakal ngadili.” (Sengkeran bukan tempat, melainkan pemutus. Jika ada cinta yang tak boleh terjadi, waktu yang akan menghakimi.)
Baris itu tertulis tiga kali — seperti mantra, atau peringatan.
Aruna merasakan sesuatu berdenyut di tengkuknya, bukan rasa takut, tapi seperti ingatan yang hampir pulih. Menjelang sore, ia menyalakan laptop, menelusuri arsip digital universitas. Satu nama menarik perhatiannya: Laksmi Prabandari — ibunya, tercatat sebagai asisten penelitian di proyek etnografi tahun 1983 bersama peneliti utama bernama Lintang Raras Prawirodirjo.
Aruna menatap layar dengan mata yang membesar. Ia tak pernah mendengar cerita apa pun tentang masa lalu ibunya.Klik berikutnya membuka foto lama, Laksmi dan Lintang berdiri berdampingan, keduanya tersenyum samar, memegang lembaran lontar yang sama — naskah Sengkeran. Namun, di belakang mereka, tampak siluet seorang pria muda dengan pakaian dalang. Wajahnya samar... tapi Aruna tahu nama itu sebelum ia sempat berpikir, Damar.
Layar laptop bergetar. Wajah Damar yang tadinya buram tiba-tiba menjadi lebih jelas, menatap langsung padanya — hidup, bernapas. Cahaya di ruangan meredup, dan dari kejauhan terdengar suara gamelan
ding… deng… dung…