Sengkeran

Muhammad Haryadi
Chapter #17

Darah yang Mengingat

Aruna mulai sulit membedakan antara rasa lelah dan rasa asing yang tumbuh di kepalanya setiap malam. Sudah tiga hari ia bermimpi tempat yang sama—sebuah pendopo beratap limasan, dengan suara gamelan yang samar seperti datang dari dalam tulang.

Namun anehnya, setiap kali terbangun, sisa mimpi itu tidak lenyap. Ia bisa mencium aromanya kayu jati, asap dupa, dan suara angin yang menyelip di antara genting tua.

Pagi itu, kabut di sekitar rumah warisan Laksmi terasa lebih tebal dari biasanya. Udara dingin seolah mengandung sesuatu yang hidup. Aruna berdiri di beranda, memandangi pepohonan bambu yang bergerak seperti menari pelan. Lalu, entah kenapa, jantungnya berdegup cepat saat melihat siluet perempuan kecil berlari di ujung halaman—bayangan samar berpakaian lurik, membawa boneka kain yang kepalanya hampir lepas.

Sekejap, ia ingin memanggil. Tapi begitu ia melangkah, bayangan itu menghilang.

“Lintang kecil…” gumamnya pelan, tanpa sadar.

Ia belum pernah tahu seperti apa masa kecil Lintang, bahkan ibunya sendiri tak pernah bercerita banyak. Tapi sejak membaca catatan ritual Sengkeran itu, Aruna merasa seolah tubuhnya sendiri menjadi wadah kenangan yang belum selesai.

Lihat selengkapnya