Sengkeran

Muhammad Haryadi
Chapter #18

Bayangan Darah

Hujan turun halus, tapi langit di atas pendopo itu berwarna keemasan. Aruna — atau mungkin Lintang — berdiri di tepi halaman, menatap Damar yang tengah memainkan rebab di bawah sinar sore. Nada-nada itu menembus udara, jatuh ke dada, menggema sampai ke ujung tulang.

“Dunia ini terasa lambat kalau kau tidak datang,” kata Damar tanpa menoleh.

“Mungkin karena kau selalu menunggunya,” jawab Lintang. Suaranya sendiri terdengar asing bagi Aruna, tapi lembut, dan penuh sesuatu yang lama hilang: cinta.

Setiap kata, setiap sentuhan angin di wajahnya, terasa terlalu nyata untuk disebut mimpi.

Ia bisa merasakan detak jantung Lintang, cara napasnya menahan haru, bahkan rasa hangat di ujung jari ketika Damar menyentuhnya untuk pertama kali.

Di malam-malam yang berikutnya, mereka menari dalam diam — hanya gamelan dan cahaya bulan yang menjadi saksi. Aruna tidak tahu berapa lama ia di sana.

Hari berganti tanpa hitungan. Ia hidup sebagai Lintang, mencintai, menangis, bersembunyi dari mata orang-orang yang menganggap cinta mereka aib.

Namun setiap kali Damar tersenyum, ada rasa yang aneh. Aruna tahu ia tidak seharusnya ada di sana. Sesuatu dalam dirinya — bagian yang masih Aruna — berbisik, “Ini bukan hidupmu.” Tapi darahnya membantah, “Ini milikmu juga.”

Malam itu, ketika Damar memintanya menari di tengah hujan, Aruna melihat sesuatu di matanya. Ada duka yang tidak ia pahami — seolah Damar tahu mereka sedang menantang garis yang lebih tua dari waktu itu sendiri.

“Kalau suatu hari aku hilang,” kata Damar lirih, “ingatlah, aku tak benar-benar pergi. Aku hanya menunggu di sisi yang tak bisa kau lihat.”

“Jangan bicara seperti itu,” ujar Lintang. “Aku tidak mau kehilanganmu.”

“Kau tak akan kehilangan aku,” bisik Damar. “Sebab darahmu akan selalu memanggilku.”

Dan di detik itu, langit bergetar. Petir menyambar jauh di balik sawah, tapi suara gamelan justru semakin keras — tak berasal dari mana pun, hanya muncul di dalam dada. Angin mengguncang dedaunan. Wajah Damar menjadi kabur, suaranya menggema dari ribuan arah. “Aruna…”

Lintang memekik. Tapi bukan Lintang yang bersuara. Itu Aruna.

Dunia di sekelilingnya bergeser seperti kertas yang terbakar di tepi api.

Pendopo lenyap. Langit mencair. Suara gamelan berubah jadi dengung listrik.

Dan ia terbangun.

Lihat selengkapnya