Pagi itu udara lembap, langit pucat, dan embun menggantung di ujung daun bambu. Lintang terbangun dengan rasa hangat di dada—rasa yang bukan hanya miliknya sendiri. Dalam kesadaran samar, Aruna tahu: ia masih berada di dalam tubuh Lintang.
Dunia ini terlalu nyata untuk disebut mimpi. Ia bisa mencium aroma tanah basah, mendengar dengung lebah di antara bunga kamboja, dan merasakan denyut jantung yang bergetar bukan karena takut, tapi karena cinta yang mulai tumbuh diam-diam.
Hari itu, Damar menjemput Lintang. Ia datang dengan pakaian sederhana, membawa kuda putih dengan pelana kulit usang.
“Pasar bawah sedang ramai,” katanya, tersenyum kecil. “Temani aku sebentar. Aku ingin membeli sesuatu.”
Lintang mengangguk, menunduk untuk menyembunyikan rona merah di pipinya. Langkah mereka di jalan tanah memunculkan bunyi lirih dedaunan kering yang terinjak. Di kanan-kiri, para pedagang sudah mulai membuka lapak: ada penjual tembakau, kain batik, dan tukang pandai besi yang memanaskan logam di bara api.
Di ujung jalan pasar, di bawah pohon asam besar, berdirilah seorang pandai besi tua. Tangan dan bajunya hitam oleh jelaga, tapi matanya tajam seperti bilah yang baru ditempa. Di hadapannya tergantung berbagai alat—parang, pisau, dan satu benda yang menarik perhatian Damar.
Sebuah gunting kodok. Terbuat dari besi tempa, kedua sisinya membentuk engsel bulat seperti kepala kodok yang saling bertaut. Gunting itu tampak berat dan kuat, tapi memiliki detail ukiran halus di gagangnya—seperti dibuat bukan hanya untuk memangkas, tapi juga untuk menyimpan kenangan.
“Gunting kodok, Nduk,” kata sang pandai besi sambil menepuknya pelan. “Biasanya dipakai buat ngguduli rambut, untuk orang-orang yang hendak mulai hidup baru.”
Damar tersenyum. “Itu yang saya cari.”
Lintang menatapnya heran. “Untuk apa kau beli gunting itu, Damar?”
Damar diam sebentar, matanya menerawang ke bara api yang masih menyala. “Supaya aku tak lupa pada siapa yang pernah menatap rambut ini sebelum hilang.”
Lintang menunduk, mencoba menutupi senyum yang gugup.
Aruna di dalam dirinya bisa merasakan getaran itu—sebuah cinta yang belum diucap tapi sudah terlalu dalam untuk diingkari.
Pandai besi itu membungkus gunting kodok dengan kain mori. Tapi sebelum diserahkan, Damar meminta sesuatu yang tak biasa, “Boleh aku titipkan sedikit rambut dari kainmu?”