Pagi di rumah warisan Laksmi terasa berat dan dingin. Aroma tanah lembap merayap masuk lewat celah jendela, bercampur bau logam dari benda di meja kerja Aruna, gunting kodok tua yang semalam ia temukan di pangkuannya.
Ia belum tidur. Sejak fajar, Aruna menatap benda itu tanpa berani menyentuhnya lagi.
Setiap kali ia mendekat, seolah ada denyut halus di udara — getaran yang tak bisa dijelaskan dengan kata “kebetulan.”
Ia menarik napas panjang, mencoba menata logika. “Ini hanya artefak,” katanya pelan. “Hanya… artefak kuno yang mungkin milik keluarga Kadipaten.”
Namun kalimat itu terasa kosong bahkan bagi dirinya sendiri.
Sebagai dosen dan peneliti, Aruna tahu cara menghadapi ketakutan adalah dengan membuktikannya. Maka ia memutuskan, hari ini ia harus mencari bukti fisik — catatan, arsip, apa pun — yang bisa menjelaskan kenapa benda dari mimpi bisa muncul di dunia nyata.
Ruang arsip itu terletak di belakang rumah, di ruangan yang selama ini terkunci.
Kunci tua ia temukan semalam di bawah laci lemari, terbungkus kain putih dengan tulisan samar, “Untuk yang berani mengingat.”
Pintu berderit pelan ketika dibuka. Udara pengap menyeruak, membawa aroma debu dan jamur. Tumpukan naskah tua, gulungan lontar, dan buku beraksara Jawa kuno memenuhi ruangan. Di pojok, ada peti kayu besar berukir motif bunga teratai — motif yang sama seperti di gagang gunting kodok itu.
Aruna menyalakan lampu kecil. Tangannya gemetar saat membuka peti. Di dalamnya tersimpan tumpukan surat yang sudah menguning, dibungkus kain mori tipis. Ia membuka satu per satu, hingga menemukan selembar surat dengan tinta yang hampir pudar.