Malam itu, langit menutup diri. Tak ada bintang, tak ada rembulan — hanya kabut tebal yang menggantung di atas pendopo Kadipaten, seperti kain kafan yang menggulung masa lalu. Aroma dupa menyengat, bercampur dengan bau tanah basah dan asap minyak kelapa yang terbakar pelan di wadah tembaga. Cahaya blencong menari di udara, redup dan bergetar — seolah takut menyinari apa yang akan terjadi malam itu.
Aruna membuka mata. Tapi tubuh yang ia rasakan bukan tubuhnya. Kain batik membungkus kakinya, tangan halus bergetar, napas tersengal.
Ia adalah Lintang.
Tubuhnya berdiri di antara kerumunan warga yang mengenakan lurik dan kebaya gelap.
Suara gamelan terdengar pelan, tapi nadanya datar dan berat — bukan musik, tapi mantra.
Di tengah pendopo, Damar digiring oleh empat lelaki desa. Kakinya diseret di atas tanah batu, dan rantai besi membelit pergelangan tangannya. Keringat dan darah bercampur di wajahnya; matanya menatap kosong, tapi masih menyimpan bara yang tak padam.
“Lepaskan dia… tolong, jangan!” Lintang ingin berteriak, tapi suara itu hanya bergema di kepalanya. Mulutnya tak bisa bergerak — seperti ada kekuatan yang menahan.
Ia hanya bisa menatap, menyaksikan lelaki yang dicintainya diseret ke tengah pendopo seperti kambing kurban.
“Anak ini,” ujar seorang tetua, suaranya berat, “telah mencemarkan garis darah dalang. Menodai warisan leluhur dengan cinta yang tak seharusnya ada.”
Empat lelaki menekan bahu Damar ke kursi kayu jati besar di tengah ruangan. Ia berontak, menggeliat, tapi tubuhnya dipaksa tunduk. Tali dari ijuk diikatkan di dadanya, di pergelangan tangan, di kaki. Kursi itu berdecit pelan, kayunya retak karena tekanan.
Damar mengangkat kepala, menatap sekeliling — dan sejenak, tatapan itu berhenti tepat ke arah Lintang. Matanya lembut. Seolah berkata, Jangan takut. Aku tetap di sini.
Tetua lain membawa baki tembaga berisi dupa dan satu benda berkilat — gunting kodok. Bilah besinya berwarna silver yang pangkalnya memantulkan cahaya.
Lintang mengenalinya. Itu gunting yang mereka beli bersama. Kini, gunting itu ada di tangan tetua adat. Bukan sebagai tanda cinta — tapi sebagai alat hukuman.