Sengkeran

Muhammad Haryadi
Chapter #22

Bayangan yang Menolak Dibuktikan

Pagi menyelinap pelan lewat celah jendela kayu. Cahaya keemasan menyentuh debu yang melayang di udara, membuatnya tampak seperti butiran roh yang belum menemukan rumah. Aruna terbangun dengan dada berat. Nafasnya masih tersengal, keringat dingin membasahi leher. Di atas meja, gunting kodok itu berbaring diam — tapi entah kenapa, seolah menatap balik padanya.

Malam tadi terlalu nyata untuk disebut mimpi. Terlalu dingin untuk disebut kenangan. Ia bangkit, menatap gunting itu lekat-lekat. Logamnya hitam, tapi di pangkal bilah ada noda kecoklatan — seperti darah yang sudah membatu. Ia menyentuhnya dengan ujung jari, dan seketika udara di sekitarnya seperti berubah lebih berat, lebih sunyi. Aruna cepat-cepat menarik tangannya, menelan ludah, mencoba menenangkan diri.

“Oke… ini pasti cuma pengaruh psikis,” gumamnya, seperti menenangkan otaknya sendiri. “Halusinasi pascamimpi, mungkin efek stres.”

Ia menyalakan laptop, membuka tab demi tab — situs sejarah, arsip kadipaten, forum penggemar budaya Jawa, bahkan jurnal antropologi tentang ritual pemutus bayangan.

Sebagian besar hanya menyebutnya legenda hukuman bagi dalang yang melanggar garis adat, dilakukan dengan memotong rambut menggunakan gunting yang telah disucikan.

Tapi tak ada satu pun catatan tentang seseorang bernama Damar… atau Lintang.

Hanya satu catatan aneh yang menarik matanya. Sebuah tulisan di blog antropologi lokal berjudul “Peralatan Ritual Kadipaten Kuno Banyupitu”.

Dalam daftar artefaknya disebut:

Sebuah gunting besi yang di namakan gunting kodok, dipercaya digunakan untuk hukuman adat pemutus bayangan. Ditemukan di gudang bekas rumah dalang Laksmi sekitar tahun 1972, lalu hilang tanpa jejak.

Aruna membeku. Rumah dalang Laksmi… adalah rumah tempatnya tinggal sekarang. Tangannya gemetar. Ia menekan tombol zoom untuk melihat foto kecil di dalam artikel itu. Kabur, tapi cukup jelas: bentuk guntingnya sama persis dengan yang ada di mejanya.

Lihat selengkapnya