Sengkeran

Muhammad Haryadi
Chapter #23

Rambut yang Tak Seharusnya Ada

Helai rambut itu tidak seharusnya ada di sana. Tidak seharusnya muncul dari udara kosong, jatuh bersama gunting kodok seakan mengikuti gravitasi dunia yang sama.

Aruna mematung, lututnya nyaris kehilangan tenaga. Rambut itu panjang. Hitam pekat. Ujungnya rapi, seolah pernah disisir tangan yang sangat lembut dan sangat sabar. Tapi yang membuat bulu kuduknya bangkit bukan bentuknya — melainkan dingin yang memancar darinya, dingin yang bukan milik benda mati.

Ia mengulurkan tangan. Ragu. Gemetar. Begitu jari-jarinya hampir menyentuh helai rambut, sesuatu berdesir pelan di dekat lehernya. Napas. Entah udara dingin, entah bisikan samar.

“Jangan sentuh itu… Aruna.”

Ia membeku.

Suara itu tak berasal dari depan atau belakang. Tidak dari jendela, tidak dari pintu. Suara itu mengelilingi, seperti gema dari tempat yang terlalu dekat dengan tulang tengkuknya.

Aruna mengangkat wajah perlahan. Di cermin tua di sudut ruangan, pantulan dirinya tampak seperti biasa… kecuali satu hal di belakang bayangannya, berdiri sosok samar dengan rambut panjang terjurai, menunduk, menunggu.

Lintang.

Aruna membalikkan badan secepat kilat. Ruangan kosong. Cermin tetap memperlihatkannya. Ia mundur beberapa langkah, punggungnya menabrak meja hingga lilin bergoyang. Nyala api menari liar, memantulkan bayangan rambut di dinding, seolah ruangan tiba-tiba dihuni oleh lebih dari satu sosok.

“Tidak… aku hanya lelah.” Aruna menekan pelipisnya, mencoba menahan gemetar. “Ini bisa dijelaskan. Semua halusinasi bisa dijelaskan.” Tapi kata-katanya sendiri terdengar hampa. Karena rambut itu — helai tunggal yang jatuh dari gunting kodok — kini bergerak pelan, seakan bernapas.

Tiba-tiba terdengar ketukan pelan di pintu depan.

Tok.

Tok–tok.

Aruna tersentak. Jarum jam menunjukkan pukul 00.17. Tak mungkin ada orang datang. Hujan mulai turun di luar, ritmenya memukul genting kayu rumah tua itu dengan nada-nada yang sulit diurai antara gemuruh dan bisikan.

Ketukan itu terdengar lagi.

Tok.

Tok.

Tok.

Kali ini lebih keras.

Aruna menatap pintu ruang kerjanya, napasnya pendek dan panas. Nalurinya memerintah untuk diam, tetapi rasa takut yang berubah menjadi ketajaman membuat ia ingin tahu.

Ia berjalan pelan, langkahnya bergema di lantai kayu. Saat ia membuka pintu ruang kerja, lorong rumah tampak gelap, hanya diterangi lampu minyak yang sekarat. Ketukan itu masih terdengar… tapi bukan dari pintu depan.

Dari arah ruang arsip — ruangan yang seharusnya kosong sejak tadi siang.

Aruna menelan ludah. “Tidak. Tidak mungkin. Aku sudah menguncinya.”

Lihat selengkapnya