Senja di halaman belakang pondok itu seperti napas terakhir hari yang enggan mati. Langit menggantung rendah, separuh ungu, separuh emas kusam—seolah menahan sesuatu yang belum siap jatuh. Aruna berdiri memunggungi pintu, memandangi pohon-pohon cemara yang membentuk garis hitam di kejauhan. Nada suara Lintang dari dalam rumah masih terngiang—desis cemasan yang disembunyikan di balik senyum tipisnya, peringatan samar yang Aruna belum sepenuhnya mengerti.
Di tangan Aruna masih ada benda itu, foto yang ia temukan, yang kini terasa terlalu hidup di genggamannya. Wajah di foto itu… yang disobek, yang samar, yang mulai muncul sendiri seperti tinta yang menolak terhapus. Dan di detik ketika Aruna hendak menyembunyikan foto itu di balik jaketnya— suara kerikil terinjak muncul dari arah gerbang.
Pelan.
Berirama.
Terlatih.
Aruna menoleh.
Damar.
Ia datang dari batas senja seperti seseorang yang tidak berjalan, melainkan muncul dari udara yang menggelap. Cahaya terakhir hari memanjangkan siluet tubuhnya, memberi tepi gelap pada garis rahangnya, membuat sorot matanya terlihat lebih dalam daripada biasanya.
Damar menghentikan langkah beberapa meter dari Aruna. Tidak terlalu dekat. Tidak terlalu jauh. Jarak yang aneh—seolah ia sengaja menjaga ruang untuk sesuatu yang tidak ingin ia sentuh.
“Aruna,” katanya.
Bukan sapaan lembut seperti biasanya. Ada sesuatu yang tertahan di sana. Sesuatu yang membeku. Aruna memasukkan foto itu ke saku jaketnya. Gerakan kecil, cepat, tapi bukan tanpa suara. Damar memperhatikan—ia selalu memperhatikan.
“Aku mencarimu dari tadi,” lanjut Damar sambil melangkah lebih dekat, tapi langkahnya tetap pelan, seolah mengukur reaksi Aruna. “Lintang bilang kamu gelisah.”
Aruna menahan napas. “Aku hanya butuh udara.”
“Jam segini?”
Tatapan Damar menelisik. “Kamu bukan tipe yang keluar saat langit seperti ini.”
Aruna tahu Damar tidak sedang menyindir.
Damar sedang mencocokkan pola.
Dan Aruna membenci bahwa ia begitu mudah dibaca oleh seseorang yang kini justru membuat dadanya tidak tenang.
Damar menurunkan suaranya.
“Ada apa?”
“Tidak ada.”
“Nuna.”
Suara itu turun, tajam tapi tidak keras.
Nama panggilannya, tapi terasa seperti kunci yang dipaksa masuk ke lubang yang tidak cocok.