SENI PERANG RUMAH TANGGA

IGN Indra
Chapter #1

HARI KE-182/VONIS

Garasi rumah kami selalu dingin, bahkan di tengah hari bolong. Dinding beton telanjang dan lantai keramik abu-abu yang mahal seolah sengaja dirancang untuk meredam suara, meredam kehidupan. Ironis, karena tempat ini adalah saksi bisu dari kebohongan paling bising dalam pernikahan kami. Di sinilah mobil-mobil mewah suamiku, Arvino Adiwangsa, beristirahat setelah membawanya ke entah kehidupan mana yang sedang ia jalani.

Malam ini, Mercedes hitamnya yang berkilauan tampak seperti seekor macan kumbang yang tertidur pulas. Gagah, mahal, dan buas. Arvino baru saja pulang, membawakanku sekotak makaron dari toko kue favoritku sambil mengeluh tentang rapat dewan direksi yang membosankan. Wajahnya menunjukkan penat yang dibuat-buat, senyumnya sedikit terlalu lebar. Serupa pertunjukan medioker dari seorang aktor amatir.

Aku balas tersenyum, senyum yang sudah kulatih selama 182 hari di depan cermin. Senyum seorang istri yang penuh pengertian. "Kasihan, pasti capek ya? Mandi saja dulu, biar aku siapkan air hangat."

"Kamu memang yang terbaik, Tar. Nggak tahu deh aku tanpamu," katanya sambil mencium keningku sekilas. Aroma parfumnya yang biasa—aroma oud yang maskulin dan berkelas—bercampur dengan aroma lain. Aroma samar yang asing.

Dan di situlah umpannya.

Setelah memastikan dia benar-benar sudah naik ke kamar mandi di lantai dua, aku kembali ke garasi. Jantungku tidak berdebar kencang. Tanganku tidak gemetar. Aku merasa tenang, setenang seorang ahli bedah yang akan memulai operasi yang rumit. Selama enam bulan terakhir, aku sudah berhenti menjadi istri. Aku telah bertransformasi menjadi seorang peneliti, seorang analis data, seorang ahli strategi. Dan malam ini adalah malam validasi akhir.

Aku membuka pintu penumpang depan mobilnya. Udara di dalam mobil terasa pengap, menyimpan sisa-sisa hari yang telah ia lalui. Aku tidak perlu mencari dengan panik. Aku tahu kebiasaannya. Pria, sekecil apa pun, selalu meninggalkan jejak. Aku hanya perlu melihat dari sudut pandang yang benar.

Mataku menyapu lantai mobil yang dilapisi karpet beludru. Kosong. Aku membuka laci dasbor. Hanya ada buku manual mobil, tisu, dan beberapa kartu nama klien. Aku tersenyum tipis. Tentu saja tidak akan semudah itu. Arvino memang arogan, tapi dia tidak bodoh. Setidaknya, tidak sebodoh itu.

Aku berlutut, menundukkan kepala untuk melihat ke kolong kursi penumpang. Tempat paling klise di dunia untuk menyembunyikan sesuatu. Tapi arogansi sering kali membuat orang memilih jalan yang paling klise, karena mereka pikir tidak akan ada yang berani memeriksa.

Dan di sanalah dia.

Sebuah botol kaca mungil dengan cairan keemasan, tergeletak miring seolah terjatuh dari tas tangan. Aku tidak perlu menyentuhnya untuk tahu apa itu. Chloé Eau de Parfum. Aroma bunga yang manis dan sedikit centil. Aroma yang sama persis dengan yang dikenakan Rania—sekretaris junior di divisinya—saat acara makan malam perusahaan bulan lalu. Saat itu, aku bahkan sempat memuji wangi parfumnya, menjadi manuver basa-basi yang kini terasa seperti sebuah nubuat.

Ah, Chloé. Pilihan yang sangat bisa ditebak untuk seorang wanita simpanan, batinku, ada sedikit nada geli di sana. Setidaknya seleranya pada parfum tidak semurah moralnya.

Aku tidak merasakan gelombang kemarahan atau tusukan sakit hati yang membakar. Tidak ada. Rasa itu sudah lama mati, mungkin sekitar hari ke-30 investigasiku. Yang kurasakan saat ini adalah kelegaan. Kelegaan yang dingin dan memuaskan, seperti meneguk segelas air es di tengah hari yang panas. Ini bukan lagi kecurigaan. Ini bukan lagi asumsi. Tetapi vonis. Data konkret yang tak terbantahkan.

Dengan tangan yang stabil, aku mengeluarkan ponselku. Kubuka aplikasi kamera, memastikan flash-nya menyala untuk menangkap setiap detail dengan jelas. Klik. Cahaya blitz menyinari botol itu, memantulkan kilau dari tutup peraknya. Aku mengambil beberapa gambar dari sudut yang berbeda, memastikan logo dan nama mereknya terbaca sempurna. Bukti digital nomor 47.

Lihat selengkapnya