Pukul enam pagi di kediaman Adiwangsa selalu terasa seperti adegan pembuka film. Cahaya matahari keemasan masuk melalui jendela-jendela raksasa, menyinari lantai marmer Italia hingga berkilauan. Udara beraroma bunga lili segar dari vas kristal di tengah ruangan, dan satu-satunya suara hanyalah dengungan pelan dari mesin kopi seharga motor sport di sudut dapur. Semuanya sempurna. Sangat sempurna.
Inilah panggung sandiwaraku. Dan aku, Tara, sebagai aktris utamanya.
Selama 182 hari, aku memainkan peran sebagai istri yang naif dan penuh cinta. Kini, setelah vonis ku jatuhkan tadi malam di garasi yang dingin, peranku berubah. Aku masih seorang istri, tapi sekarang dengan agenda tersembunyi. Dapur yang dulu menjadi tempatku meracik cinta, hari ini resmi ku sulap menjadi sebuah laboratorium. Dan suamiku, Arvino Adiwangsa, akan menjadi subjek penelitian pertamaku.
Aku berdiri di depan mesin kopi La Marzocco itu, hadiah ulang tahun dari Arvino dua tahun lalu. "Agar istriku bisa membuatkan kopi terenak setiap pagi," katanya waktu itu. Oh, ironis sekali. Hari ini, aku akan membuatkan kopi yang "spesial" untuknya.
Tanganku bergerak dengan presisi yang terlatih. Mengambil biji kopi single origin dari Sumatra yang ia banggakan, menggilingnya hingga mencapai kehalusan yang pas, dan memasukkannya ke dalam portafilter. Semuanya seperti biasa. Lalu, tibalah momen itu. Momen deviasi pertama. Momen pemberontakan pertamaku.
Dengan gerakan yang disengaja, aku mengambil satu sendok takar ekstra bubuk kopi dan menekannya dengan kuat ke dalam gundukan yang sudah ada. Tidak banyak, hanya sekitar lima gram. Tidak cukup untuk membuatnya langsung curiga, hanya cukup untuk mengubah profil rasa dari "nikmat" menjadi "sedikit mengganggu". Cukup untuk memberinya sedikit debaran ekstra di jantung saat kafein itu membanjiri sistem tubuhnya. Ini eksperimen psikologis kecilku yang pertama. Tujuannya: mengukur tingkat kepekaan dan toleransi subjek.
Saat mesin mulai bekerja, mengeluarkan cairan hitam pekat beraroma yang juga pekat, aku mendengar langkah kakinya menuruni tangga. Sang Raja telah turun dari singgasananya.
"Pagi, Sayang," sapa Arvino sambil lalu. Matanya terpaku pada layar ponsel, jarinya sibuk mengetik balasan email dengan cepat. Dia mengenakan kemeja biru laut yang sudah kuseterika licin kemarin, rambutnya tertata sempurna, dan wajahnya menunjukkan ekspresi angkuh seorang pria yang merasa dunia ada di telapak tangannya.
Dia bahkan tidak melihatku.
Aku tersenyum. Senyum yang sama yang selalu kuberikan setiap pagi. "Selamat pagi, Sayang," balasku dengan nada riang.
Aku meletakkan cangkir porselen putih berisi kopi panas itu di atas meja makan, tepat di samping tumpukan roti panggang dan selai alpukat kesukaannya. Fasad keluarga harmonis kami tampil sempurna pagi ini.
Arvino akhirnya duduk, meletakkan ponselnya di meja, tapi matanya masih melirik notifikasi yang terus bermunculan. Dia mengambil cangkir itu, menyesapnya dalam satu tegukan besar seperti biasanya. Aku memperhatikannya dari balik bulu mataku, setiap otot di wajahnya kuamati.
Satu detik. Dua detik.
Alisnya sedikit berkerut. Hanya sedikit, hampir tak terlihat jika kau tidak benar-benar memperhatikannya. Dia meletakkan cangkir itu kembali ke tatakannya dengan sedikit lebih keras dari biasanya.
"Kopinya agak strong hari ini, ya?" keluhnya, nadanya lebih seperti pernyataan daripada pertanyaan.
Bingo.