Jam di dinding menunjukkan pukul tujuh malam. Di istana Adiwangsa, ini merupakan jam keramat. Jam di mana sang raja akan segera pulang ke kastilnya. Aku sudah menyiapkan segalanya. Ruang keluarga tertata rapi tanpa cela, segelas whiskey on the rocks kesukaannya sudah menanti di meja dengan tatakan kulit, dan aroma sup asparagus buatanku menguar lembut dari dapur.
Aku tidak menunggunya dengan debaran rindu seperti yang kulakukan dulu. Tidak ada lagi Tara yang akan berlari kecil ke pintu untuk menyambut suaminya. Tara yang itu sudah mati, terkubur di bawah tumpukan bukti dan kebohongan selama 182 hari. Kini, aku menunggunya seperti seorang entomolog menunggu spesimen langkanya masuk ke dalam perangkap kaca. Aku duduk di sofa, membaca sebuah buku—atau lebih tepatnya, berpura-pura membaca—sambil memasang telinga.
Suara deru mesin Mercedes-nya yang memasuki garasi adalah penanda pertama. Diikuti suara pintu mobil dibanting—sedikit lebih keras dari biasanya, sebuah indikasi awal adanya frustrasi. Lalu, suara kunci yang diletakkan di atas meja konsol dengan bunyi ‘klik’ yang tajam dan tidak sabar.
Dan akhirnya, dia masuk. Arvino Adiwangsa. Suamiku. Objek risetku.
Dia melangkah masuk ke ruang keluarga, melonggarkan dasi sutranya dengan satu tarikan kasar. Jas hitamnya yang mahal ia lepaskan dan dilempar begitu saja ke sandaran sofa terdekat, sama sekali tidak peduli pada kain seharga belasan juta itu akan kusut.
Aku menarik napas pelan, mataku masih tertuju pada buku.
Observasi perilaku non-verbal: Gestur melempar jas mengindikasikan tingkat stres tinggi dan kebutuhan untuk melepaskan beban secara simbolis. Sekaligus menunjukkan arogansi dan ekspektasi bahwa akan ada yang membereskannya.
Tentu saja ‘ada yang membereskannya’ itu adalah aku.
“Hari yang luar biasa menyebalkan!” geramnya, lebih pada ruangan daripada padaku. Dia menjatuhkan dirinya di sofa tunggalnya, takhta modernnya, dan menyambar gelas whiskey yang telah kusiapkan.
Aku akhirnya mengangkat wajah dari buku, memasang ekspresi prihatin yang sudah kuhapal di luar kepala. “Kenapa, Sayang? Ada masalah di kantor?”
Dia meneguk whiskey-nya dalam sekali teguk sebelum menjawab. “Masalah? Selalu ada masalah kalau kamu dikelilingi orang-orang bodoh, Tara! Bodoh dan tidak kompeten!”
Dan, inilah dia. Momen yang kutunggu. Tirade sang raja.
“Kamu tahu Bima dari tim marketing? Anak itu ku suruh membuat laporan proyeksi penjualan kuartal depan. Sederhana, kan? Aku hanya minta data! Tapi apa yang dia berikan padaku? Laporan penuh asumsi dan analisis dangkal yang bahkan anak magang pun bisa membuatnya lebih baik! Dia pikir ini tugas kuliah? Ini perusahaan bernilai triliunan!”
Aku diam, membiarkannya meluapkan segala unek-uneknya. Aku adalah dinding pantulnya, pendengar setianya. Padahal di dalam kepalaku, sebuah prosesor data sedang bekerja dengan kecepatan tinggi.
Analisis konten verbal: Keluhan berpusat pada kesalahan minor bawahan (“laporan penuh asumsi”). Terdapat pembesaran masalah (hiperbola) untuk menegaskan superioritas intelektual subjek. Pola menyalahkan eksternal (blame-shifting) sangat konsisten dengan profil psikologis yang telah disusun.
“Aku tidak habis pikir bagaimana orang seperti itu bisa lulus wawancara kerja,” lanjutnya, kini dengan nada yang lebih meremehkan. “Coba semua orang di kantor itu bisa se-cekatan dan se-inisiatif Rania. Pasti semua pekerjaan beres. Anak itu, kusuruh A, dia kerjakan sampai C. Tidak perlu di-briefing dua kali. Cerdas.”