SENI PERANG RUMAH TANGGA

IGN Indra
Chapter #4

AROMA ORANG KETIGA

Malam itu, jam dinding sudah berdentang sebelas kali. Suaranya yang menggema terasa lebih keras di rumah kami yang besar dan sepi. Aku sedang duduk di sofa beludru, dengan sebuah buku bersampul tebal di pangkuanku, berpura-pura larut dalam cerita. Padahal, setiap sel di tubuhku sedang dalam mode siaga, menunggu satu suara: deru mobil suamiku.

Malam ini, alasannya adalah "acara makan malam penting dengan investor dari Singapura". Kebohongan yang terdengar begitu meyakinkan jika diucapkan dengan nada yang tepat. Arvino seorang penutur kebohongan yang berbakat, harus kuakui. Tapi aku, setelah berbulan-bulan mempelajari polanya, telah menjadi pendengar kebohongan yang jauh lebih berbakat.

Akhirnya, suara yang kutunggu itu tiba. Mesin mobil dimatikan di garasi, diikuti oleh bunyi pintu yang terbuka dan tertutup. Beberapa saat kemudian, pintu depan rumah kami terbuka.

Arvino masuk. Wajahnya tampak sedikit memerah—entah karena alkohol atau karena euforia—dan senyumnya terlalu lebar untuk ukuran orang yang baru saja pulang dari pertemuan bisnis yang alot. Dia melonggarkan dasinya, kebiasaan yang selalu ia lakukan saat merasa lega dan menang.

"Malam, Sayang. Maaf ya, telat sekali. Orang-orang Singapura itu kalau sudah bicara bisnis tidak kenal waktu," sapanya, suaranya terdengar riang.

Aku menutup bukuku, menandai halamannya, lalu bangkit sambil tersenyum. Senyum istri penyabar. "Tidak apa-apa. Yang penting semuanya lancar, kan?"

"Sangat lancar," katanya sambil berjalan melewatiku menuju tangga. "Aku mau langsung bersih-bersih. Gerah sekali."

"Sini, biar aku ambil jasmu," kataku, kalimat rutin yang terdengar seperti bentuk pelayanan, padahal malam ini adalah bagian dari misi. Inilah momenku untuk mengumpulkan data.

Dia berhenti, melepaskan jasnya tanpa banyak bicara, dan menyerahkannya padaku. Tangan kami bersentuhan sesaat. Tangannya hangat, tanganku dingin. Dia sama sekali tidak menyadarinya, pikirannya sudah berada di tempat lain. Mungkin sedang memutar ulang momen-momen menyenangkan dari "acara kantor"-nya.

Saat itulah aku menciumnya.

Awalnya samar, tersembunyi di balik aroma parfum oud-nya yang kuat dan aroma asap rokok cerutu yang samar-samar. Tapi kemudian, saat aku memegang jas itu lebih dekat, aromanya menjadi jelas.

Bukan aroma parfumku yang klasik dan elegan. Bukan juga aroma detergen atau pelembut pakaian dari penatu langganan kami. Ini aroma lain. Aroma asing.

Aroma bunga peony yang meledak-ledak, bercampur dengan manisnya buah leci. Aroma yang centil, yang berteriak minta perhatian. Aroma yang terasa sangat muda, sangat riang, dan gegabah untuk bisa berada di dalam rumah kami yang tenang dan tertata ini.

Seketika, jantungku mulai berdebar kencang. Reaksi fisik yang tidak bisa kukendalikan. Tapi anehnya, debaran ini terasa berbeda. Ini bukan debaran sakit hati yang menyakitkan seperti yang pernah kurasakan dulu, saat kecurigaan pertamaku muncul. Bukan juga debaran kemarahan yang membakar.

Debaran ini terasa... menggairahkan.

Inilah debaran seorang prajurit saat mendengar genderang perang ditabuh untuk pertama kalinya. Adrenalin seorang pemburu saat melihat mangsanya masuk ke dalam jangkauan tembak.

Di dalam benakku, sebuah suara dingin dan tenang berkata, Selamat datang, Tara. Permainan telah resmi dimulai.

Aku memejamkan mata sejenak, menghirup aroma itu sekali lagi. Merekamnya dalam memoriku. Menganalisisnya. Ini bukan parfum murahan. Aku tahu aroma ini, aku pernah menciumnya di pusat perbelanjaan. Mahal. Tentu saja. Suamiku tidak akan berselingkuh dengan wanita yang memakai parfum isi ulang. Dia punya standar, bahkan untuk pengkhianatannya. Pemikiran yang entah kenapa terasa sangat lucu hingga aku harus menahan senyum.

Lihat selengkapnya