Malam ini aku mengenakan gaun sutra berwarna zamrud yang harganya bisa untuk membayar uang kuliah seorang mahasiswa selama empat tahun. Rambutku ditata dalam sanggul modern yang elegan, dan di leherku melingkar kalung berlian yang Arvino sebut sebagai “investasi”. Aku lebih suka menyebutnya kalung anjing bertatahkan permata. Apapun namanya, malam ini aku menjadi aksesori termahal yang dibawa oleh suamiku.
Acaranya sebuah malam penggalangan dana. Acara di mana orang-orang kaya berkumpul untuk bertepuk tangan bagi kemurahan hati mereka sendiri, setelah menyumbangkan sebagian kecil dari keuntungan bisnis mereka yang mungkin didapat dengan cara yang tidak murah hati sama sekali.
“Nanti kalau bertemu Pak Suryo dan istrinya, kamu harus ramah ya, Tar. Proyek real estate kita yang baru bergantung pada persetujuannya,” bisik Arvino di mobil saat kami mendekati lobi hotel bintang lima yang megah.
Aku menoleh padanya, memasang senyum terbaikku. “Tentu, Sayang. Aku akan menjadi istri paling menawan yang pernah kamu lihat.”
Dia tersenyum puas, seolah baru saja memberikan instruksi pada asistennya. Dia tidak sadar, di dalam kepalaku, aku sedang menambahkan catatan: Subjek bergantung pada pesona interpersonal istri untuk mencapai tujuan bisnis. Menciptakan ketergantungan. Ini bisa dieksploitasi.
Saat kami melangkah masuk ke dalam ballroom, aku langsung merasa seperti memasuki kandang di kebun binatang paling eksotis. Udara dipenuhi campuran aneh dari aroma parfum mahal yang saling bertabrakan, suara tawa yang dipaksakan, dan denting gelas kristal. Di sini, para predator puncak rantai sosial berkumpul, memamerkan “bulu” mereka yang paling indah—gaun desainer, jam tangan mewah, dan tentu saja, senyum palsu.
“Tara, Arvino! Akhirnya kalian datang!”
Sapaan itu datang dari seorang wanita paruh baya yang wajahnya begitu kencang ditarik hingga alisnya tampak terkejut permanen. Namanya Ibu Ranti. Suaminya salah satu mitra bisnis minor Arvino.
“Ibu Ranti, apa kabar? Ya ampun, gaun Ibu malam ini cantik sekali! Warnanya sangat cocok untuk Ibu,” kataku dengan nada antusias yang sudah kulatih.
Terjemahan batinku: Ya ampun, Bu Ranti. Gaun Anda warnanya sama persis dengan sofa di lobi. Dan senyum Anda lebih kaku dari perjanjian pra-nikah Anda. Setidaknya perjanjian itu masih bisa bergerak di depan pengacara.
“Ah, kamu bisa saja, Tara,” balasnya, matanya yang sipit menyapu penampilanku dari atas ke bawah, seolah sedang mengkalkulasi total hargaku malam ini. “Kalian berdua memang pasangan serasi. Arvino, kamu beruntung sekali punya istri secantik Tara.”
“Tentu saja saya beruntung,” kata Arvino sambil merangkul pinggangku dengan posesif. “Dia aset terbaik saya.”
Aku tersenyum lebih lebar. Aset. Bukan istri, bukan pasangan hidup. Aset. Terima kasih sudah mengklarifikasi posisiku, Sayang. Ini akan membuat segalanya lebih mudah nanti.
Saat Arvino langsung larut dalam obrolan bisnis dengan suami Ibu Ranti, aku terdampar bersama sekumpulan “Ibu-Ibu Botox”. Mereka mulai bergosip dengan suara berbisik yang sebenarnya cukup keras untuk didengar orang di meja sebelah. Topiknya beragam, mulai dari siapa yang baru saja melakukan operasi plastik, siapa yang selingkuh, hingga siapa yang tasnya ternyata palsu.
Aku hanya mendengarkan, sesekali mengangguk dan tersenyum, sambil menyerap informasi seperti spons. Ini bukan sekadar gosip. Ini data. Siapa yang punya utang, siapa yang pernikahannya di ujung tanduk, siapa yang membenci siapa. Semua ini peta kekuatan dan kelemahan dari ekosistem sosial suamiku.
Mataku tidak pernah diam. Sambil berpura-pura tertarik pada cerita tentang liburan ke Maladewa, aku memindai seluruh ruangan. Aku seperti seorang jenderal yang mengamati medan perang dari atas bukit.
Target pertama: sekutu. Mataku menangkap Pak Baskoro, mitra bisnis Arvino di proyek pertambangan. Dia sedang berbicara dengan Arvino, tapi bahasa tubuh mereka aneh. Arvino tertawa lebar sambil menepuk punggung Pak Baskoro, tapi bahu Pak Baskoro tampak tegang, senyumnya tidak sampai ke mata.
Tercatat: Ada tensi antara Arvino dan Baskoro.