SENI PERANG RUMAH TANGGA

IGN Indra
Chapter #6

KEBOHONGAN PERTAMA YANG TERCATAT

Sore itu, aroma beef teriyaki buatanku mulai memenuhi dapur. Aku sedang menata irisan daging di atas semangkuk nasi hangat, makan malam sederhana namun merupakan salah satu favorit Arvino. Jam di dinding dapur menunjukkan pukul lima sore, yang berarti suamiku akan tiba dalam satu jam. Semuanya berjalan sesuai jadwal, sesuai rutinitas. Kehidupan domestik kami merupakan mesin yang terawat baik, berjalan dengan presisi yang membosankan.

Setidaknya, itulah yang terlihat dari luar.

Aku sedang menaburkan biji wijen di atas nasi saat ponselku yang tergeletak di meja dapur bergetar. Layarnya menyala, menampilkan nama dan foto Arvino yang sedang tersenyum lebar di lapangan golf.

Aku berhenti sejenak, alisku terangkat. Sebuah anomali. Arvino jarang sekali menelepon di jam-jam seperti ini. Dia adalah makhluk yang penuh kebiasaan; dia akan pulang, mengeluh tentang harinya, makan, lalu menelepon jika memang ada urusan setelah itu. Panggilan di luar jadwal adalah penyimpangan. Dan dalam duniaku yang baru, setiap penyimpangan menjadi data yang patut diwaspadai.

Aku mengeringkan tanganku, menarik napas panjang, dan menggeser ikon hijau di layar. Aku memasang suaraku yang paling lembut dan ceria.

“Halo, Sayang,” sapaku.

Di seberang sana, ada jeda sepersekian detik yang aneh sebelum dia menjawab. “Eh, halo, Tar. Lagi apa?”

Pertanyaan basa-basi, catat otakku secara otomatis. Dia tidak pernah bertanya aku sedang apa. Dia sedang mengulur waktu, membangun landasan untuk kebohongan yang akan datang.

“Lagi siapin makan malam, nih. Kamu sudah jalan pulang?” tanyaku, memainkan peranku sebagai istri yang tidak menaruh curiga.

“Nah, itu dia, Sayang…” Suaranya terdengar sedikit lebih tinggi dari biasanya. Ada nada gugup yang coba ia sembunyikan di baliknya. “Aduh, maaf banget, ya… ini… ini tiba-tiba banget, ada meeting mendadak sama tim dari pusat. Penting banget, nggak bisa ditinggal sama sekali.”

Aku diam, membiarkan kebohongannya yang kikuk itu menggantung di udara. Aku bisa membayangkan wajahnya saat ini. Alisnya mungkin sedikit berkerut karena konsentrasi, tangannya mungkin menggaruk belakang lehernya—kebiasaan yang selalu ia lakukan saat berbohong.

Meeting mendadak? batinku, sementara di telepon aku hanya diam seolah sedang mencerna informasinya. Dengan 'tim dari pusat'? Di hari Jumat, pukul lima sore? Suamiku tercinta, kalau mau merangkai kebohongan, setidaknya buatlah yang masuk akal. Tim dari pusat mana yang mau mengadakan rapat di jam semua orang sudah ingin bergegas pulang dan terjebak macet? Mereka juga punya keluarga. Oh, tunggu. Mungkin ‘tim dari pusat’ yang kamu maksud adalah pusat dari duniamu yang baru. Seorang wanita pirang dengan parfum yang wanginya lebih kuat dari integritasmu.

“Oh, begitu…” jawabku akhirnya, dengan nada yang dibuat terdengar sedikit kecewa, tapi penuh pengertian.

“Iya, maaf banget ya, Sayang,” lanjutnya cepat, seolah lega karena aku tidak banyak bertanya. “Aku… aku kayaknya bakal pulang telat banget malam ini. Kamu makan malam duluan saja, ya. Jangan tungguin aku.”

Aku hampir tertawa. Tentu saja aku tidak akan menunggumu. Waktuku terlalu berharga untuk dihabiskan menunggu seorang pembohong.

“Iya, nggak apa-apa, kok, Sayang. Pekerjaan nomor satu, kan?” kataku, suaraku semanis madu. “Kamu jangan lupa makan malam juga, ya. Nanti sakit maag, lho. Jaga kesehatan.”

Aku bisa mendengar helaan napas lega dari seberang sana. Dia berhasil. Dia pikir dia berhasil mengelabuiku. Dia pasti merasa seperti agen rahasia paling hebat di dunia saat ini.

Menggemaskan sekali, pikirku geli. Seperti anak SMP yang baru pertama kali berhasil bolos sekolah. Dia belum tahu kalau wali kelasnya sudah mengantongi semua bukti dari CCTV.

“Pasti, Sayang. Kamu memang istri yang paling pengertian. The best! Aku tutup dulu ya, ini sudah dipanggil,” katanya terburu-buru.

Lihat selengkapnya