Setahun yang lalu.
Aku ingat malam itu dengan kejernihan yang menyakitkan. Hujan turun rintik-rintik di luar, menciptakan melodi yang menenangkan di jendela kamar kami. Di dalam, suasananya hangat dan penuh harap. Aku telah menyiapkan segalanya dengan sempurna. Aku memasak steak dengan saus jamur kesukaan Arvino, menyajikan sebotol anggur merah mahal, dan memakai gaun rumah yang ia bilang paling ia sukai.
Malam itu bukan perayaan ulang tahun atau hari jadi. Malam itu jauh lebih penting. Malam itu, aku akan membagikan sebagian dari jiwaku kepadanya. Mimpi yang telah kusimpan dan kupupuk diam-diam selama berbulan-bulan.
Di hadapanku, di atas meja makan yang tertata rapi, tergeletak proposal setebal dua puluh halaman yang kujilid dengan apik. Isinya bukan resep masakan atau rencana renovasi taman. Isinya adalah ide bisnis: platform e-commerce yang dikurasi khusus untuk produk-produk pengrajin lokal Indonesia, mulai dari kain tenun, perhiasan perak, hingga kerajinan kayu. Lengkap dengan analisis pasar, proyeksi laba-rugi selama tiga tahun, dan strategi pemasaran digital.
Aku gugup, tentu saja. Tanganku sedikit dingin saat aku menunggu Arvino selesai dengan hidangan utamanya. Tapi di atas semua itu, aku merasa antusias. Aku merasa hidup. Selama ini, duniaku seolah hanya berputar di orbitnya. Istri Arvino Adiwangsa. Nyonya Adiwangsa. Peran yang kubanggakan, tapi sebagian kecil dari diriku merindukan sesuatu yang menjadi milikku sendiri.
Dan inilah dia. Mimpiku.
Saat itu, aku masih melihat Arvino sebagai pahlawanku. Pria brilian yang membangun kerajaannya dari nol. Aku mengagumi kecerdasannya, ketajamannya dalam berbisnis. Malam itu, aku tidak datang padanya untuk meminta uang. Aku datang untuk meminta sesuatu yang lebih berharga: validasinya. Aku ingin dia melihatku, bukan hanya sebagai istrinya, tapi sebagai partner yang sepadan.
“Sayang, ada sesuatu yang mau aku tunjukkan,” kataku akhirnya, saat piring kami sudah hampir bersih.
Dia mengangkat alis, tampak tertarik. “Oh ya? Apa itu?”
Dengan jantung berdebar, aku mendorong proposal itu ke arahnya. “Ini… ini ide yang sudah lama aku pikirkan. Aku sudah melakukan riset, dan aku yakin ini punya potensi besar.”
Dia mengambilnya, senyum geli terpasang di bibirnya, seolah aku baru saja menunjukkan hasil kerajinan tangan dari tanah liat. Dia membukanya, membolak-balik halaman dengan cepat. Matanya yang tajam memindai judul-judul besar: "Analisis SWOT", "Target Demografi", "Strategi Monetisasi".
Aku menunggunya dengan napas tertahan, menjelaskan dengan semangat setiap kali matanya berhenti pada sebuah diagram. Aku menjelaskan tentang bagaimana platform ini bisa membantu UMKM, tentang potensi pasar ekspor, tentang bagaimana kita bisa memanfaatkan cerita di balik setiap produk sebagai nilai jual. Aku bicara dengan seluruh gairah yang kumiliki.
Setelah aku selesai, aku menatapnya, mataku berbinar penuh harap. Menunggu pendapatnya. Menunggu dukungannya. Menunggu dia berkata, "Ini brilian, Sayang. Ayo kita wujudkan bersama."
Hening sejenak.