Beberapa hari setelah penemuan tas Chanel seharga mobil itu, laporan tagihan kartu kredit bulanan yang terperinci akhirnya tersedia di portal perbankan online. Aku menantikannya seperti seorang anak kecil menantikan hari ulang tahunnya. Pagi itu, setelah Arvino berangkat kerja dengan ciuman di kening dan kebohongan lain tentang "rapat maraton seharian", aku menyeduh secangkir teh hijau, duduk di ruang kerjaku, dan membuka laptop.
Ini bukan lagi sekadar pemeriksaan rutin. Ini perburuan. Penemuan tas itu telah membangunkanku pada fakta bahwa aku selama ini hanya melihat puncak dari gunung es. Sekarang, aku akan menyelam ke bawah untuk melihat keseluruhan bongkahan es yang mengancam akan menenggelamkan kapal rumah tangga kami.
Aku masuk ke portal perbankan dengan sidik jariku. Antarmukanya yang bersih dan steril, penuh dengan angka dan grafik, terasa seperti laboratorium yang sempurna untuk pembedahan yang akan kulakukan. Aku tidak hanya melihat ringkasan. Aku mengunduh laporan elektronik terperinci untuk tiga bulan terakhir. April, Maret, Februari. Tiga bulan yang menurut Arvino periode "paling sibuk dan paling stres di kantor".
Aku penasaran, stres macam apa yang ia maksud.
Aku mulai dengan bulan April, bulan di mana kebohongan verbal pertamanya tercatat. Mataku langsung tertuju pada tanggal 20. Di sana, di bawah transaksi Chanel yang sudah kutandai, ada serangkaian transaksi lain di hari yang sama.
Merchant: Le Ciel Restaurant & Bar. Jumlah: Rp 3.520.000.
Aku tersenyum kecut. Le Ciel. Restoran di puncak gedung pencakar langit dengan pemandangan kerlap-kerlip lampu kota yang romantisnya kebangetan. Aku ingat pernah mengusulkan kita makan malam di sana untuk merayakan promosinya tahun lalu. Jawabannya waktu itu? "Terlalu klise dan mahal, Sayang. Buang-buang uang."
Ternyata tidak terlalu klise untuk "rapat lembur mendadak". Tagihannya tiga setengah juta. Cukup untuk dua set menu degustation paling mahal, lengkap dengan sebotol anggur Prancis. Rapat kerja yang sangat intim, tampaknya. Aku ingin tahu, notulen rapat macam apa yang mereka hasilkan malam itu?
Aku menggulir lebih jauh ke bawah. Mataku menangkap sesuatu yang lain.
Merchant: THE SANCTUARY BOUTIQUE HOTEL. Jumlah: Rp 2.800.000.
Jantungku berhenti berdetak sepersekian detik, lalu kembali berdetak dengan ritme yang dingin dan mantap. The Sanctuary. Hotel butik mewah di pinggiran kota yang terkenal dengan vila-vila pribadinya yang tersembunyi. Tempat yang sempurna untuk "mencari suaka", jauh dari mata publik. Jauh dari mata seorang istri. Tanggalnya? Seminggu sebelum penemuan tas Chanel. Hari di mana Arvino bilang dia harus "menginspeksi proyek di Bogor dan mungkin menginap semalam".
Ternyata "proyek" yang ia inspeksi punya fasilitas kolam renang pribadi dan layanan kamar 24 jam.
Aku menahan tawa sinis. Dulu, mungkin penemuan ini akan membuatku hancur. Bayangan suamiku berada di sebuah kamar hotel mewah dengan wanita lain akan meremukkan hatiku. Tapi sekarang? Aku hanya melihatnya sebagai data. Bukti yang tak terbantahkan. Sebuah paku lagi yang bisa kutancapkan di peti mati pernikahannya.
Aku kembali ke laporan bulan Maret. Polanya mulai terlihat jelas. Seperti rasi bintang di langit malam, jika kau tahu cara melihatnya, kau akan melihat sebuah gambaran yang utuh.
Di sana ada tagihan dari restoran Italia favorit kami berdua—tempat Arvino melamarku dulu. Kini tempat itu ternoda, menjadi lokasi kencan rahasianya. Ada tagihan dari sebuah toko perhiasan—sebuah kalung, mungkin? Atau gelang?—dengan jumlah yang tidak sedikit. Ada tagihan dari toko lingerie mewah.
Aku berhenti sejenak pada transaksi toko lingerie itu. Aku tertawa kecil, kali ini benar-benar mengeluarkan suara. Jadi dia membelikan pakaian dalam untuk wanita lain? Pria ini benar-benar sebuah komedi berjalan. Dia pikir dirinya siapa? Seorang tokoh protagonis dari novel erotis murahan?