Arogansi adalah sebilah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia membuat seorang pria merasa tak terkalahkan, seperti raja di puncak dunia. Di sisi lain, ia menumbuhkan benih-benih kelalaian. Dan suamiku, Arvino Adiwangsa, petani paling ulung untuk benih-benih itu.
Setelah berbulan-bulan menjalani kehidupan gandanya, dia mulai merasa nyaman. Terlalu nyaman. Ponsel yang dulu selalu menempel di tangannya seperti organ tubuh tambahan, kini mulai sering ia tinggalkan tanpa pengawasan. Di meja kopi saat ia menonton pertandingan bola. Di meja makan saat ia menyantap sarapan. Atau, seperti malam ini, tergeletak begitu saja di meja samping tempat tidur, sedang mengisi daya, sementara pemiliknya berada di kamar mandi, bernyanyi sumbang dengan suara keras di bawah pancuran air.
Pemandangan itu—ponsel hitam yang rentan dan tak terjaga—membuat jantungku berdebar dengan cara yang berbeda. Ini adalah undangan. Pintu yang sedikit terbuka, memintaku untuk mengintip ke dalamnya.
Aku sedang duduk di ranjang, berpura-pura membaca buku. Tapi mataku terus melirik ke arah benda persegi panjang yang menyala itu. Dulu, aku tidak akan pernah berani menyentuhnya. Privasi adalah hal yang sakral, kataku pada diriku sendiri. Tapi privasi adalah hak istimewa yang diberikan kepada orang-orang yang jujur. Dan suamiku telah kehilangan hak istimewa itu sejak lama.
Suara pancuran air masih terdengar deras. Aku punya waktu. Mungkin sepuluh, lima belas menit. Cukup.
Dengan gerakan yang tenang dan disengaja, aku meletakkan bukuku. Aku tidak bergegas. Aku berjalan ke sisi ranjangnya, seolah hanya ingin mengambil segelas air dari nakas. Tanganku terulur, mengambil gelas, lalu dengan gerakan kedua yang mulus, jari-jariku menyambar ponselnya.
Aku kembali ke posisiku di atas ranjang, menyandarkan punggung ke kepala ranjang, dan menatap layar kunci. Fotonya dan aku saat liburan di Swiss. Kami tersenyum, dengan latar belakang pegunungan Alpen. Kebohongan visual yang indah.
Aku menyapukan jariku ke atas. Layar meminta kata sandi. Aku tersenyum tipis. Dulu dia memberiku kata sandinya, "untuk keadaan darurat," katanya. Dia tidak tahu, inilah keadaan darurat yang sesungguhnya. Darurat untuk menyelamatkan kewarasanku dan merencanakan masa depanku.
Kata sandinya? Tanggal lahirku. Menjadi pilihan yang romantis sekaligus ironis. Dia menggunakan hari kelahiranku untuk mengunci semua rahasia pengkhianatannya.
Layar ponselnya terbuka. Jari-jariku bergerak cepat dan pasti. Aku tidak punya waktu untuk membaca semua pesannya dari atas ke bawah seperti seorang pacar yang cemburuan. Aku adalah seorang analis. Aku butuh efisiensi. Aku butuh pola.
Aku langsung membuka aplikasi pesan instan hijaunya. Aku mengabaikan puluhan grup kerja dan obrolan keluarga. Mataku tertuju pada satu nama kontak yang tidak ia simpan dengan nama asli. Nama kontaknya adalah "My Queen".
Aku harus menahan tawa. My Queen? Ratu dari kerajaan mana? Kerajaan tas diskon dan hotel butik? Atau Ratu dari para perebut suami orang? Julukan yang begitu klise hingga terasa menyedihkan.
Aku membuka percakapan dengan "My Queen". Aku tidak menggulir dari bawah. Itu buang-buang waktu. Aku langsung menuju ke fitur pencarian di dalam percakapan itu. Aku tidak tertarik membaca seratus variasi dari "aku kangen kamu" atau emoji hati yang mereka kirim. Itu bukan data, itu sampah emosional. Aku butuh fakta.
Pencarian pertama. Aku mengetik kata kunci: "hotel".
Langsung muncul beberapa pesan.
Rania: "Sayang, hotel yang kemarin enak bgt tempatnya. Kapan kita ke sana lagi?"
Arvino: "Sabar ya, Queen. Nanti aku atur lagi jadwalnya."
Pencarian kedua. Kata kunci: "ketemu".
Arvino: "Besok bisa kabur jam 3? Kita ketemu di tempat biasa."
Rania: "Bisa, Say. Nggak sabar ketemu kamu!"