Hari Senin pagi, aku melancarkan serangan kedua. Kali ini, medan perangnya adalah telepon. Aku sengaja menunggu hingga pukul sepuluh pagi, waktu di mana Arvino biasanya sedang berada dalam rapat dan tidak berada di mejanya. Aku menelepon ke nomor kantornya, tahu persis siapa yang akan mengangkatnya.
"Selamat pagi, kantor Bapak Arvino Adiwangsa. Dengan Citra di sini, ada yang bisa saya bantu?" Suara Citra terdengar profesional dan praktis, seperti biasa.
"Pagi, Citra. Ini Tara," kataku dengan nada ramah.
"Oh! Selamat pagi, Bu Tara. Maaf, saya tidak mengenali suaranya. Bapak sedang ada rapat, Bu. Ada pesan yang ingin disampaikan?"
"Tidak ada yang penting, kok," kataku. Aku pun memulai sandiwaraku, menanyakan jadwal Arvino untuk minggu ini, pura-pura ingin mencocokkan jadwal untuk sebuah acara keluarga. Ini adalah alasan yang sempurna, tabir asap untuk menyembunyikan niatku yang sebenarnya.
Setelah urusan jadwal selesai, aku tidak langsung menutup telepon. Aku berhenti sejenak, lalu berkata dengan nada yang lebih personal.
"Oh ya, Citra. Maaf saya baru teringat lagi. Senang sekali lho bertemu di taman bermain hari Sabtu kemarin. Saya sampai cerita ke Mas Arvino."
"Ah, iya, Bu. Saya juga," jawabnya, suaranya terdengar sedikit lebih hangat.