SENI PERANG RUMAH TANGGA

IGN Indra
Chapter #17

KUNCI DIGITAL PERTAMA

Satu minggu telah berlalu sejak aku, melalui "yayasan keluarga" fiktifku, mentransfer sejumlah dana yang cukup untuk menutupi seluruh biaya terapi Banyu selama setahun penuh. Aku melakukannya dengan cara yang paling profesional: surat resmi, transfer antar-bank, dan email konfirmasi. Tidak ada uang tunai di dalam amplop. Tidak ada kesan suap yang vulgar. Ini adalah "bantuan kemanusiaan" yang elegan. Bentuk investasi.

Dan seperti investor yang sabar, aku menunggu.

Aku tidak menelepon Citra. Aku tidak mengiriminya pesan untuk menanyakan kabar. Aku memberinya ruang. Aku tahu, rasa terima kasih yang begitu besar akan terasa seperti beban di pundaknya. Setiap kali ia melihat senyum di wajah putranya, setiap kali ia mengantar Banyu terapi tanpa perlu khawatir soal biaya, ia akan teringat padaku. Beban moral itu, rasa hutang budi itu, akan bekerja dengan sendirinya, menggerogoti loyalitasnya pada Arvino dari dalam.

Aku sudah memberikan madu yang paling manis. Sekarang, aku hanya perlu menunggunya cukup lapar untuk datang dan menyerahkan seluruh sarangnya.

Penantianku berakhir pada hari Selasa malam. Pukul sebelas. Aku sedang di ruang kerjaku, meninjau kembali data-data yang sudah kukumpulkan saat ponsel rahasiaku bergetar. Nama "Citra" muncul di layar. Aku menatap nama itu sejenak sebelum menjawab, mengatur napasku dan memasang suaraku yang paling tenang dan hangat.

"Halo, Citra. Ada apa malam-malam begini?"

Di seberang sana, hening sejenak. Aku hanya bisa mendengar suara napasnya yang tidak teratur.

"Malam, Bu Tara. Maaf sekali mengganggu selarut ini," suaranya terdengar kecil dan bergetar.

"Tidak apa-apa. Ada masalah?" tanyaku lembut, seolah aku benar-benar temannya yang peduli.

"Tidak ada, Bu. Saya... saya hanya ingin mengucapkan terima kasih lagi. Hari ini Banyu... dia mengucapkan kata 'Ibu' dengan sangat jelas untuk pertama kalinya setelah terapi. Saya..." suaranya pecah. "Saya tidak tahu harus bagaimana membalas kebaikan Ibu."

Ini dia, batinku. Pintu itu telah ia buka sendiri.

"Citra, dengar," kataku dengan nada yang paling tulus. "Mendengar itu adalah balasan terbaik yang bisa aku dapatkan. Aku ikut bahagia untukmu dan Banyu. Sungguh. Kamu tidak perlu memikirkan untuk membalas apa pun."

Aku sengaja mengatakan itu. Dengan menolak "pembayaran", aku justru membuat hutangnya terasa semakin besar. Psikologi dasar.

"Tapi saya merasa tidak enak, Bu," bisiknya. "Ibu sangat baik pada saya. Sementara... sementara saya..."

Dia tidak melanjutkan kalimatnya. Aku bisa merasakan pergulatan batinnya dari getaran suaranya. Antara rasa terima kasih yang meluap padaku, dan rasa bersalah karena akan mengkhianati bosnya.

"Sementara kamu bekerja untuk suamiku?" aku menyelesaikan kalimatnya dengan lembut. "Citra, aku tidak pernah memintamu untuk memilih. Aku menganggapmu teman."

"Justru karena itu, Bu," katanya cepat. "Sebagai teman... saya merasa Ibu berhak tahu. Akhir-akhir ini Pak Arvino aneh sekali. Sangat tertutup, sering marah-marah untuk hal kecil. Dan... dan wanita itu, Rania, sepertinya semakin sering ikut campur dalam urusan yang bukan bagiannya."

Lihat selengkapnya