Seni

Eneng Anita
Chapter #1

Hari Sedang Dingin

Pukul 14.08 WIB, hari ini jadwalku membuat kunci jawaban matematika untuk latihan UTS (Ulangan Tengah Semester) tingkat SD. Aku harus dalam konsentrasi penuh. Sesekali suara kesal Ceceh mengalihkan pandanganku menuju seorang korektor yang sedang ditraining. Ceceh adalah nama panggilan akrab untuk Miss Siana. Adapun, semua guru yang mengajar di Smart Course disapa Miss atau Mister. Sama denganku, rekan kerja baruku itu juga mengenakan seragam putih abu. Wajah ketakutannya mencuri kasihanku, namun dengan atau tanpa bantuanku ia tetap harus melaluinya. Aku tidak perlu ikut campur.

Kuarahkan kembali tatapanku pada pekerjaanku. Jika hitunganku salah meski satu angka saja, aku akan menunjukkan ketaksanggupanku sebagai pembuat kunci. Itu tak semestinya terjadi. Matematika adalah kesempurnaan tanpa tapi.

***

Pundakku ingin teriak bahwa ia sakit. Aku menyandarkan tubuh ke kursi.

Ceceh ke mana?”

“Oh... itu, Miss, ke sebelah, Railin nangis.”

Aku agak terkejut. Dalam hitungan hari bekerja ia sudah hapal nama Railin dari sekian banyak anak. Apa karena Railin keponakan Miss Siana?

Gadis kecil berambut bob itu memang sedikit berbeda. Ketika aku masih asing di sini, setahun lalu, ia tak mau belajar denganku. Ia yang biasa kupanggil Rai itu cukup pemilih. Dulu, aku sangat sedih. Aku tak suka jika ada anak kecil yang tak menyukaiku. Sampai saat ini pun, aku merasa belum bisa meraihnya untuk mau bersandar padaku, misal saat sebagai anak kelas I SD ia lupa perkalian 6.

Tangisannya cukup kencang. Teriakan ibu Rai samar namun sampai ke telingaku, “Hukum aja anak ini, Ceh! Saya serahin ke Ceceh.”

Gerbang terbuka, seorang anak tergusur di hadapanku. Kaos kutang hijau, juga celana pendek kuning yang dikenakan Rai membuatku ingin memeluknya. Hari sedang dingin. Aku tak mengeluarkan suara. Kekeluan merayapi tubuhku. Kenapa aku tidak bisa bergerak? Kenapa aku diam saja?

Pulpen yang empat jam ini menyalami jemariku tergeletak di tumpukan buku. Kuturunkan tanganku ke bawah meja. Aku tak mau tanganku yang gemetar terlihat oleh siapa pun. Ruang mengajar yang menyatu dengan rumah ini ada di lantai satu. Di belakangnya ada dapur dan kamar mandi. Sepertinya Rai ditarik ke salah satu di antara keduanya. Aku tak mendengar derit tangga yang terbuat dari kayu itu jika seseorang menuju lantai dua.

“Kamu ngapain Mbak Riam?”

Derai tangis Rai melaju.

Lihat selengkapnya