Ini wajahku...
Wajahku di masa kecil....
Kenapa kamu datang lagi? Apa yang mesti kulakukan selain ikut menangis denganmu?
Lama sekali, dalam tangis kami bertatapan: aku dan diriku sendiri... aku dan aku yang lain. Jemariku meninggalkan wajahnya, perlahan... amat perlahan... agar tak terlalu menyakitkan. Dalam haru kami berirama melalui isakan....
“Miss...! Miss...!”
Sebuah suara mendatangiku berkali-kali.
“Miss Seni!”
Pundakku disentuh oleh seseorang. Aku menatapnya hampa. Ceceh.... Ia mengggenggam tangan kananku. Ia menghentikanku dari sesuatu: menciptakan tetesan darah dari jemariku yang sepertinya telah memukul-mukul lantai.
***
Aku tidak tidur sepulang dari tempat les. Tapi, hari ini sekolah tetap menungguku. Aku tidak sehat. Atau aku sengaja membuat diriku tidak sehat karena kalau baik-baik saja aku akan merasa bersalah.
Pak Sena memanggilku, tapi kami malah bicara di depan mading (majalah dinding) sekolah. Deretan puisi terpajang. Tulisanku satu di antaranya.
“Sen... kamu jurusan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), bukan jurusan sastra.”
“Iya, Pak.”
“Waktu kelas X saya juga wali kelas kamu. Rangkingmu dari ke-3 turun jadi ke-7. Terus... turun lagi jadi ke -9.”
“Iya, akan saya perbaiki, Pak.”
Pak Sena seakan tahu kata-kataku bukan berasal dari kesungguhan. “Kalau ada masalah, cerita. Tapi, jangan sama saya, sama guru BP (Bimbingan Penyuluhan).” Kami tertawa. Ia cukup keren karena mengakui ketidakmampuannya sebagai guru dalam mendengarkan cerita muridnya.
“Jadi ketua Ekskul (ekstra kurikuler) berat?”
Aku menggeleng. Mantra (Majalah Sekolah dan Sastra) adalah salah satu dunia masa remajaku. Orang bilang aku itu ‘anak bahasa gak jadi’. Jurusan itu dihapus karena peminatnya kurang dari 15 orang. Hidupku memang tersita di ekskul, tapi tidak ada yang tahu, kecuali Mugi, kalau waktuku juga terenggut di tempat les sebagai guru matematika.
“Besok jangan lupa.” Jangan lupa apa? Sepertinya Pak Sena sengaja tidak menyebutkan kelanjutannya. Remed bukan sesuatu yang asik didengar. Aku rasa kamu terkejut. Kamu pikir aku murid yang sangat cerdas, kan? Sayangnya, aku bukan tokoh film. Maaf, kalau aku tidak sesuai harapanmu. Orang bilang kalau pintar matematika, akan pintar di semua pelajaran. Tapi, itu cuma teori.
***
Aku sibuk membolak-balik buku catatan kimiaku. Huruf sambung absurd membuatnya makin mengerikan untuk dibaca. Mugi mengamati luka di jemariku yang mulai mengering. Ia bahkan tidak jajan di jam istirahat ini. Tapi, ketika aku tahu apa yang sedang ia lakukan, ia mengalihkan diri dengan bicara tanpa rencana.
“Mugi aneh sama Teteh, giliran ada kepentingan aja belajar.”
"Kamu yang aneh, kan? Belajar setiap hari."
"Itu karena Mamah. Teteh pikir seneng apa les di setiap mata pelajaran?"
"Ehmm... Seneng. Karena aku juga pengen les, tapi orang tuaku gak terlalu peduli itu."
"His! Yaudah lanjutin sana belajarnya. Semangat, deh, buat yang mau ulangan." Mugi mengucapkan semangat, tapi dengan nada malas.
“Remed.” Kataku memperjelas.