Upacara.... Aku adalah salah satu murid yang tak melaksanakannya dengan sukarela. Tapi, aku tetap masuk dalam barisan kepasrahan. Hari ini yang naik ke mimbar adalah Bu Dian.
“Mari bangun sekolah ini....” Kubayangkan inilah kata-kata yang akan keluar seperti biasa para guru lakukan.
“Duh... aku, kan, sekolah bukan mau jadi tukang bangunan.” Aku asik bicara dengan diriku sendiri.
Tapi... setelah Bu Dian mengucapkan pembukaan, kata-kata selanjutnya mencambuk prasangkaku.
“Beberapa hari lalu ada murid yang menabrak saya. Saya tahu itu tidak disengaja. Tapi, dia yang tanpa name tag itu berlalu begitu saja tanpa meminta maaf. Mengapa? Apa saya tidak pantas menerimanya? Aneh sekali. Saya rasa ada yang bisa kita pelajari dari Jepang. Saya pernah ke sana.”
“Wehh....” Kami, para murid, tiba-tiba bertepuk tangan. Dari jauh, Pak Edi menaruh telunjuk di mulutnya. Itu kode: harap berisik sepuasnya. Ya... terserah kepalaku mau mengartikannya seperti apa.
“Di kereta bawah tanah, jika kita menginjak kaki seseorang, orang yang diinjaklah yang meminta maaf karena telah membiarkan kakinya terinjak. Bayangkan kalau itu terjadi di sini. ‘Hey, sia, suku aing! (Hey, lu, kaki gua!)’. Kira-kira begitu, ya, kan?”
“Iya....” Barisan para guru pun ikut menyumbangkan tawa bersama kami, termasuk Pak Edi. Apakah kata-kata Bu Dian terlalu lucu sampai mereka pun boleh tertawa? Kok, mereka boleh tertawa juga, sih? Itu, kan, kegiatan resmi para murid: tertawa saat upacara. Ikut-ikutan aja.
Baru kali ini rasanya kupingku bersedia mendengarkan sebuah pidato sampai selesai. Di akhir upacara, biasanya ada seorang murid yang berpidato bahasa Inggris atau berpuisi. Kali ini tidak ada.
Pak Edilah yang muncul. “Hallo-hallo. Ceik-ceik.”
“Wah, ada apaan nih?” Entah itu suara siapa.
“Pengumuman! Telah terciduk sepasang muda-mudi asik mojok di ruang ekskul. Seni Kenanga, maju! Kamu adalah contoh ketua ekskul yang menyalahgunakan kekuasaannya.”
Aku muncul dari barisan anak OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah). Seni Kenanga adalah seorang Kabid (Ketua Bidang) Sastra dan Budaya. Sebuah jabatan yang terpaksa kuterima karena tidak ada anak mantra yang mau jadi perwakilan ekskul untuk masuk OSIS. Aku melangkahkan kaki dengan perlahan. Tawa tak henti-henti tertuju untukku.
“Satu lagi, Mugi Akra! Maju kalian cepet!” Pak Edi harus membuktikan diri bahwa ia adalah guru PKN (Pendidikan Kewarganegaraan) yang bertugas mendidik perilaku murid-muridnya. Suaranya menjadi lebih tegas.
Mugi tiba-tiba berlari ke arahku. Ia membantu langkahku yang tertahan. Tanganku tergenggam olehnya, erat....
“Cieee....” Riuh sekali....
“Kalian, hey! Lepas-lepas!”
Mugi makin tak mau melepasku.
“Mugi, hey, eling! (Mugi, hey, sadar!)".
Mugi ya Mugi... Ia mana mau dengar.
“Astagfirullah. Seni, hey, kamu!”
“Iya, Pak.”
“Kamu pilih....”
“Pilih apa, Pak?”
“Bapak atau Mugi?”
Pilihan yang diajukan Pak Edi memancing tawa yang lebih gila, “Uhuy, cinta segitiga!” Teriak seorang murid entah di barisan mana.
“Saya pilih Bapak.” Tangan yang digenggam Mugi kini bukan lagi tanganku, tapi tangan Pak Edi.
Aku ternganga, lalu tertawa. Mugi punya cara cemburu yang hanya dia yang punya. Bersama Mugi, aku rela melalui hari-hari tak biasa dan tak sempurna.
Hai, mesjid. Aku tak mengerti sebenarnya mengapa aku dan Mugi ada di sini. Apa kami akan mendapat siraman rohani?
“Di sini lebih enak, pikiran adem.” Pak Edi memulai pembicaraan.
“Apa saya mau dinikahin sama Seni, Pak?” Mugi cengengesan.
“Nikah pala lu!” Pak Edi hampir saja menjitak Mugi.