Ketika rombongan senior memasuki aula, sontak seluruh peserta terdiam seribu bahasa, termasuk Rara dan Aluna yang sebelumnya berbisik-bisik selama menunggu.
Sembilan orang berkaus hitam dengan jas almamater hijau army berjalan masuk ke aula membentuk formasi seperti bodyguard. Wajah mereka sangar, membuat peserta merasa tegang. Langkah kaki para senior di atas lantai aula menjadi satu-satunya backsound di ruangan.
Sembilan senior itu berjalan melewati sekitar 300 peserta. Mereka berjalan penuh patriotisme menuju panggung. Namun, mereka bukan rombongan utama. Tidak lama kemudian, sepuluh senior lain dengan setelan yang sama memasuki aula dan berdiri di setiap sudutnya.
Rara dan puluhan cewek lainnya memekik kecil seperti tikus, ketika melihat salah seorang cowok dari rombongan itu menaiki panggung dengan gagah. Cowok itu langsung bergabung dengan sembilan panitia lainnya yang sudah terlebih dahulu berdiri di atas sana.
“Masya Allah!” pekik Rara tertahan.
“Itu ketua OSIS-nya?” bisik cewek lain lagi, di belakang Aluna.
“Gila! Gue enggak kuat kalau ketuanya kayak dia,” tambah cewek lain dari arah samping Aluna. “Masuk aula aja udah kayak presiden. Mana ganteng banget, pula!”
Tidak ketinggalan seperti cewek-cewek lain, Aluna pun bergumam, “Allahu Akbar,” ketika melihat cowok di tengah panggung.
Jelas, Aluna bukan terkesima oleh ketampanan cowok itu, melainkan oleh alasan lain. Aluna menelan ludah seraya mengamati cowok itu mengedarkan pandangan ke setiap sudut aula dengan ekspresi yang tidak berbeda dari kali pertama Aluna menemuinya.
Itu, kan, cowok yang tadi, batin Aluna.
“Aduh, Al, gue deg-degan parah, nih!” bisik Rara seraya memegang dadanya sendiri dengan ekspresi wajah mau pingsan. “Gue semakin yakin, dia emang jodoh gue. Seandainya bukan pun, gue bakal tetep jodohin diri gue sama dia.”
Aluna masih terpana. Dia bahkan tidak mendengarkan bisikan Rara barusan.
Jika diperhatikan terus-menerus, cowok itu memang terlihat sangat tampan. Bahkan, terlalu tampan untuk ukuran orang Bandung. Namun, Aluna teringat sikapnya yang kasar tadi sehingga dia urung mengagumi cowok itu. Andai Nakula bersikap sedikit lebih ramah, mungkin Aluna saat ini sedang meleleh kagum seperti Rara.
Sampai akhirnya, Aluna menyadari satu hal.
Ya, ampun! Dia tahu, dong, kalau gue tadi telat?
“Peserta dipersilakan duduk,” ucap seorang protokoler menggunakan mikrofon.
Serempak semua peserta yang sedari tadi berdiri menunggu, duduk kembali dan mengatur posisi dengan rapi.
Kecuali, satu orang. Yang entah mengapa, ketika semua orang sudah duduk dengan tenang, dia masih saja membeku berdiri menatap Ketua OSIS di atas panggung.
Orang itu Aluna.
“Al!” Rara menyiku Aluna. Dia bahkan menarik-narik rok biru sahabatnya itu dengan maksud menyuruhnya duduk. Namun, Aluna masih saja terpana dan terhipnosis. Seisi aula kini menoleh menatap Aluna.
“Kamu yang di sana! Kenapa enggak duduk?” tanya protokoler dengan tegas.
Hal tersebut membuat Ketua OSIS ikut menoleh ke satu-satunya peserta yang berdiri sekarang.
Mata Aluna membesar saat menyadari Nakula membalas tatapannya. Dia memasang ekspresi kikuk saat menyadari bahwa dirinya satu-satunya peserta yang masih berdiri.
“Kenapa enggak ngasih tahu kalau kita udah duduk?!” pekik Aluna malu seraya duduk dengan salah tingkah.
“Dari tadi udah gue panggil, kali!” Rara memutar bola matanya.
Meski sudah duduk, Aluna masih mendapati Ketua OSIS menatapnya seakan-akan Aluna seekor mangsa yang lezat. Tubuh Aluna mendadak lemas, rasa nya ingin sekali dia pergi dan meninggalkan acara ini.
Namun, dengan dingin, rupanya Ketua OSIS melupakan Aluna dan malah memberi isyarat kepada rekannya untuk memberikan list peserta MOS. Setelah menerima list itu, Sang Ketua OSIS mempelajarinya dengan misterius. Beberapa saat kemudian, Ketua OSIS mengangkat kepala dan mulai berbicara.
“Selamat pagi, Adik-Adik!” sapanya datar, tetapi lantang. Suaranya berat dan menggelegar ke seluruh penjuru aula. Mungkin, sebenarnya dia tidak membutuhkan megafon maupun mikrofon.
“Pagi!” balas seluruh peserta.
“Suaranya seksi banget, Al!” bisik Rara, sekali lagi menyiku lengan Aluna.
“Selamat datang di SMA Sevit Bandung! Perkenalkan, nama saya Nakula Megantara. Saya senior angkatan ketiga, sekaligus ketua OSIS tahun ini.”
Seisi aula saksama mendengarkan.
“Saya tidak akan bertele-tele,” tegas Nakula seraya berdiri tegap. “Yang akan saya sampaikan kepada kalian adalah tahun ini kita menerapkan metode MOS berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Saya menghapus peraturan yang menyatakan ‘Senior tidak pernah salah’ dan ‘Jika senior salah kembali ke peraturan satu’. Kalian pasti tahu itu ketika di SMP, betul?”
Sebagian peserta mengangguk kecil untuk menanggapi.
“Sistem yang saya buat untuk kalian ...,” lanjut Nakula. “... adalah Sistem DBC.”
Beberapa peserta mulai celingukan kanan kiri dan bertanya-tanya.
“DBC singkatan dari Direst-Be-Creatness. Jika kalian melanggar sistem DBC atau tidak menerapkannya selama mengikuti kegiatan ini, maka seluruh peserta akan dihukum.”
Beberapa peserta menelan ludah, sementara sebagian lain terlihat kebingungan karena tidak mengerti apa maksud dari sistem DBC.