Senja

hafitalia
Chapter #3

2

2


 

Kupandangi awan yang begitu lembut berkejaran seolah mengajakku tersenyum. Bentuknya berubah-ubah. Kulangkahkan kaki, dengan bersemangat menyisir setiap jalanan yang kulalui.

Sejam berlalu, tak terasa kaki ini melangkah. Tak kurasakan keringat setetes pun terjatuh. Udara musim dingin menuju musim semi, masih menyisakan udara yang terasa sangat dingin menusuk kulit. Beruntung tubuhku telah kubalut berlapis-lapis baju dengan sentuhan coat warna hitam kesayangan yang telah setia menemani musim dinginku di antara baju-baju musim dingin yang lainnya.

Awalnya aku ingin pergi ke taman. Namun, sesaat kemudian teleponku bergetar. Sebuah nada panggilan. Hanya saja aku tidak mengenal nomor tersebut. Kuurungkan niat untuk mengangkatnya. Hari ini benar-benar ingin sendiri dan tidak mau berurusan dengan kerjaan, lagi pula ini akhir pekan pertamaku. Setelah berjibaku dengan akhir pekan yang sibuk selama ini.

Yang kuinginkan waktu sendiri.

Lima kali nada panggilan, tak urung membuatku gelisah. Jangan-jangan ini orang yang kukenal, tapi sedang ganti nomor atau mungkin pinjam pintar milik orang lain, pikirku.

Ok, kalau keenam kalinya masih saja telepon, aku akan mengangkatnya. Akhirnya kuputuskan.

“Halo”

Terdengar suara diujung telepon angkat bicara.

“Nada, kenapa kamu tidak mengangkat teleponku?” Pekik suara dari seseorang yang meneponku. “Mentang-mentang kamu kuliah di luar negeri, sombong banget.”

Deg! Jantungku berdegup kencang. Antara kesal dan senewen dituduh macam-macam. Awalnya aku ingin santai saja menjawab panggilan tersebut, tahu-tahu orang seenak jidat langsung menuduhku seperti itu.

Padahal aku lagi malas mengangkat telepon karena pikirku ini masih pagi dan akhir pekan pula, memang salah ya, orang gak mau angkat telepon? Apa aku tidak punya hak? Gerutuku dalam hati. Aku bukan orang yang senang menerima telepon berjam-jam hanya untuk berbincang. Apalagi nomor yang tidak kukenal, sungguh aku malas angkat.

Tadinya aku ingin menutup telepon tersebut. Namun, demi sopan santun, akhirnya aku bersuara.

“Halo, maaf ini dengan siapa, ya? Aku tidak kenal nomornya, maaf baru aku angkat.”

“Ya ampuuuuun Nadaaaaaaaaaaaaaaa,…..”

Suara cempreng dan kencengnya bikin kupingku pekak. Sayangnya aku masih belum mengenal suara di ujung telepon ini.

“Ini aku, Erina. Teman sebangku kamu waktu kita masih SMA.”

Untuk sepersekian detik aku masih belum ingat.

“Erina?” hanya itu yang bisa kuucapkan.

Lihat selengkapnya