3
“Hei Nada, kok senyum-senyum sendiri. Habis ngobrol sama seseorang yang spesial, ya?”
Seseorang menyapaku. Tanpa menoleh pun, aku sudah tahu siapa pemilik suara tersebut. Hari itu kami janjian untuk bertemu, biar bisa pergi bareng makan ramen halal di daerah Shibuya. Tadinya aku menyarankan untuk langsung ketemuan di tempat. Namun, Fajar menolaknya. Dia memintaku untuk menunggu di taman dekat tempat tinggalku, habis itu kami berencana naik kereta bareng. Memang tidak praktis, dan memakan waktu. Hanya saja aku tidak enak sering menolak ajakannya untuk pergi gara-gara aku terlanjur menyibukkan diri. Lebih tepatnya hidupku dibuat jadi sibuk sehingga tidak punya waktu untuk pergi hanya untuk sekadar jalan-jalan bareng teman.
“Maaf membuatmu menunggu, tadi aku ketemu temenku di jalan dan kami berbincang sebentar.”
“Gak apa-apa, Jar.”
“Hei, pertanyaanku belum dijawab,” protes Fajar yang mulai terlihat senewen.
“Oh ini, aku baru saja terima telepon dari seorang yang spesial, dia sahabatku. Sudah sepuluh tahun lebih kami kehilangan kontak. Namanya Erina, dulu dia melanjutkan kuliahnya ke luar negeri. Aku senang sekali bisa mendengar suaranya lagi. Aku kangen dengan sahabat-sahabatku di Indonesia. Mereka sudah sibuk dengan keluarganya masing-masing, sementara aku masih kayak gini saja.” Seketika bibirku terasa kelu, dan memikirkan nasibku saat ini.
“Kirain pacar,” godanya yang langsung kubalas dengan muka masam.
Fajar tahu, aku paling malas mendengar kata itu, tapi dia memang sengaja melakukannya, hanya untuk menggodaku. Untungnya, sejauh ini dia tidak pernah menyoal soal pacar dan menyakan urusan pribadiku, sepertinya dia paham betul bahwa aku tidak suka ditanya-tanya hal pribadi, kecuali kalau aku suka rela menceritakannya.
“Kamu terlalu fokus belajar dan kerja paruh waktu, jadi lupa bersenang-senang.” Tukas Fajar. Sementara aku tidak menggubrisnya. Kemudian dia mengalihkan topik pembicaraan, dan menanyakan padaku apakah aku keberatan jika dia sekalian mengajak sahabat-sahabatnya makan ramen di tempat yang sama. Aku pun setuju dengan usulnya, biar lebih rame.
Kami berdua kemudian berjalan menuju stasiun. Berbalut baju musim dingin warna hitam yang tebal dan syal warna pink, senada dengan jilbabku, dan wajahku polos tanpa penghias wajah. Aku berjalan cepat, dan Fajar menyejajarkan langkahnya.
“Ternyata kamu jalannya cepat juga, ya. Kelamaan tinggal di Jepang lama-lama kamu sudah seperti orang Jepang saja,” Fajar memujiku.
Aku hanya terkekeh. Kemudian beberapa saat tidak bersuara.
Saat itulah Fajar mengingat kembali kenangan di pesawat saat pertama kali melihat Nada, ya diriku, yang terlihat sangat pendiam, mungkin dari orok, pikirnya begitu. Ternyata beberapa tahun kemudian baru mengetahui bahwa kami satu tempat kuliah. Aku adalah kakak kelasnya, tapi beda jurusan. Aku sedang mengambil S2, dan dia mahasiswa S1 tahun terakhir. Menariknya kini kami berjalan bersisian, meski tanpa berpegangan tangan.
Sepuluh menit lagi kereta akan sampai. Fajar mengajak ngobrol.
“Kamu sering ketemuan dengan sahabat-sahabatmu di Jepang, Nad?” Fajar bertanya dengan antusias.
“Jarang banget, Jar! Lagian aku tidak punya banyak teman dekat. Bisa dihitung jari. Kamu tahu sendiri kan, orang-orang di sini tidak mudah menerima orang baru. Mereka sangat tertutup. Dulu saat tiba di Jepang, aku kesepian. Apalagi waktu itu aku belum menguasai bahasa ibu negeri ini. Jarang banget ketemu dengan orang yang bisa bahasa Inggris. Awal-awal aku kuliah, aku sudah paham, bahwa memang di sini terkesan individualis sekali. Berbeda saat aku kuliah S1-ku di Indonesia. Tapi aku juga gak terlalu ambil pusing, malah aku senang dan menyatu dengan lingkungan di sini, secara aku pribadi juga tidak terbiasa banyak ngobrol. Aku seperti menemukan tempat yang aku banget. Di mana orang tidak sibuk mengurusi hidup orang lain, fokus pada kehidupannya masing-masing.
“Gak masalah orang mau menyapaku atau tidak. Gak masalah juga temanku hanya bisa dihitung jari, fokusku hanya belajar. Yang penting aku bisa menyelesaikan studiku dengan baik. Bahkan kadang aku merasa bersyukur berada di negeri ini, aku tidak perlu banyak basa basi, ngobrol-ngobrol dengan orang yang baru kutemui. Aku seakan menemukan diriku di sini dengan segala ketertutupan karakterku ini. Bahkan aku sempat mikir, kenapa aku tidak dilahirkan di negeri ini saja.”
“Hahaha,” Fajar tertawa keras mendengar kalimat terakhirku. “Nad, aku baru ketemu loh, orang kayak kamu, yang kesannya tuh nyesel banget lahir di negeri kita,” Fajar meledek.
“Bukan menyesal dengan negaranya Jar, lebih pada karakterku saja yang rasanya kok cocok banget dengan orang-orang di negeri ini.”
Kereta tiba tepat waktu. Aku dan Fajar melangkahkan kaki mencari tempat duduk. Beruntung kami masih dapat tempat, dan duduk saling bersisian. Selama di kereta kami asyik dengan pikiran masing-masing. Di gerbong tersebut, seluruh penumpangnya tidak ada yang mengobrol. Mereka punya kesibukan, ada yang membaca buku, mendengarkan musik, membaca koran, memelototi gadget. Fajar menyandarkan tubuhnya pada bangku, kemudian sudah asyik terbuai mimpi. Aku mengeluarkan buku dari tas, melanjutkan baca buku.
Lima menit menjelang berhenti di tempat tujuan, Fajar sudah bangun. Dan mengecek keberadaanku masih anteng dengan buku yang kugenggam erat sambil kunikmati tiap kata di dalamnya.
Lima menit kemudian, kereta sempurna tiba di stasiun Shibuya. Kemudian kami berjalan menuju restoran.
“Nad, sebenernya boleh nggak panggil kamu Senja saja? Bukankah nama kamu Senjanada?” Fajar akhirnya menyatakan keinginannya.
“Kenapa kamu tiba-tiba meminta hal tersebut?” selidikku sambil memicingkan mata.
Sebetulnya sejak dia tahu nama panjangku, dia mau memanggilku dengan panggilan Senja, tapi aku masih kurang nyaman karena saat itu baru kenal.
“Loh, memangnya kamu merasa sekarang kita sudah kenal baik?” ledekku.
Fajar salah tingkah, baru kali ini aku melihat adik kelasku tersipu malu. Padahal selama ini aku mengenal dia yang apa-apa selalu heboh, dan berisik banget. Di mana ada Fajar, kehebohan pasti akan terjadi.
“Gimana, ya?” Aku bertingkah seolah sedang serius berpikir.
“Baiklah, kalau begitu mulai sekarang boleh deh, soalnya hari ini kamu sudah mau berbaik hati mengajakku makan ramen[1]. Kalau boleh jujur, sudah lama banget aku pengin makan di restoran tersebut, dan baru kali ini kesampaian.”
Aku menyetujui permintaannya.
“Aneh sekali anak ini,” pikirku.
Selama di Jepang ini tidak pernah ada orang yang memanggilku dengan nama Senja, lagi pula aku selalu mengenalkan diriku dengan nama panggilan sejak masa kecil, Nada. Baru ketika ada orang yang menanyakan nama lengkapku, aku pun mengatakannya.
“Soalnya, setiap kali melihat kamu, aku selalu ingat momen kamu menatap matahari terbenam sampai terpesona,” Fajar memberikan alasan, mungkin karena takut aku berpikir macam-macam.
“Senja, kamu kalau sudah selesai studi S2-mu akan pulang ke Indonesia?”
“Kayaknya aku akan tetap tinggal di sini, Jar. Nyari kerja di sini. Kalau kamu, lulus S1 ini rencananya akan lanjut ke mana?” aku balik tanya.
Dia ingin mencari beasiswa S2 dan S3 di Oxford. Tapi sebenarnya dia juga lagi bingung, pihak kampusnya menawarkan beasiswa penuh S2 di kampus yang sama karena sejak semester satu sampai sekarang dia sudah berusaha keras belajar lebih gila, biar dapat nilai bagus. Tak disangka respon positif dari kampusnya malah mau ngasih beasiswa lagi, berkat prestasi dia yang membanggakan, meskipun dia tidak pernah menampakkan kepintarannya.
“Kuliah di sini susah banget, dan bikin aku belajarnya makin keras. Makanya nih, aku jomlo mulu karena kebanyakan belajar, hahahaha,” kelakar Fajar.