4
Sesampainya di rumah sewaan yang cukup nyaman, aku membersihkan diri, kemudian bergegas salat. Menjama salat Magrib dengan Isya. Tadi aku tidak sempat salat Magrib, karena harus mampir ke supermarket untuk belanja kebutuhan dan persediaan selama seminggu ke depan.
Selesai makan malam nasi goreng ikan salmon dicampur jamur hasil kreasiku, aku membuka laptopku dan mengetik tugas yang akan dikumpulkan dua hari lagi.
Tiga jam berkutat dengan tugas, akhirnya selesai juga. Rasa kantukku tak bisa dibendung. Waktu menunjukkan pukul sebelas. Malam itu akhirnya aku bisa tertidur lelap. Pukul empat kembali terbangun dan melaksanakan salat di sepertiga malam.
Seusai melaksanakan salat Subuh dan membaca Al-Quran. Aku bergegas membuat sarapan sekaligus bento untuk makan siang. Hari ini aku akan sibuk berada di kampus. Setelah itu akan melanjutkan kerja paruh waktu. Belum lagi beberapa tugas kampus masih harus dikerjakan dan berkejaran dengan deadline.
Hari ini tubuhku merasa segar. Pikiranku tak sekusut kaset yang berantakan. Pertemuan dengan Fajar dan teman-temannya, telepon dari Erina dan juga pesan singkat dari Eka, sahabatku, telah memunculkan kembali semangatku.
Hidup sendiri dalam perantauan dan jauh dari belaian orang tua, bukan perkara mudah. Namun, kini aku sudah terbiasa dengan rutinitasku. Yang berbeda hanyalah hatiku yang masih terasa perih, ketika nama Dika terus muncul dalam ingatanku.
Tak terasa, sebulan aku merasakan patah hati. Aku sebenarnya tidak pernah pacaran, meminjam istilah Fajar, jomlo sejak lahir. Hingga Paman Dimas melalui Bapakku, memperkenalkan seorang lelaki yang siap nikah. Aku kenal Dika, satu tahun yang lalu. Saat aku pulang liburan musim panas, setelah liburan tahun sebelumnya tidak pulang ke Indonesia.
Awalnya, aku tidak berani menolak, karena aku masih merasa punya hutang untuk menyelesaikan studiku. Tapi karena kupikir itu niat baik, ya, tidak ada salahnya. Lagi pula menurut orang tuaku, sudah saatnya aku menikah. Aku manut saja.
Setelah dikenalkan, Dika ternyata orang yang sangat menyenangkan. Aku baru kali itu menjalin hubungan yang niatnya juga untuk jangka panjang—menikah. Aku jelaskan pada Dika, bahwa setahun lagi masa belajarku akan selesai dan pulang ke Indonesia, kemudian melanjutkan kerja. Dika tidak berkeberatan, dia tidak memaksaku untuk menikah secepatnya.
Orang tuaku terlihat sangat bahagia ketika tahu bahwa perkenalan aku dengan Dika direspon positif, dan kami terlihat akrab satu sama lain. Selama sebulan memanfaatkan waktu liburanku, hampir tiap hari Dika berkunjung ke rumah. Menemui Ibu, Bapak, dan tentunya, aku.
Secara ekonomi, Dika berkecukupan. Aku tidak pernah menilai laki-laki dari sebuah prestasi kerja yang mengaharuskannya mapan. Bagiku, selagi dia tipe pekerja keras, punya pekerjaan, dan bertanggung jawab, itu lebih dari cukup. Walaupun Dika mengakui bahwa dia masih tinggal di kontrakan dan belum memiliki rumah pribadi. Aku tidak mempermasalahkannya. Aku cukup bahagia, hubunganku dengan Dika berjalan lancar. Setelah penantian yang cukup lama, aku bersyukur akhirnya bisa menemukan sosok seorang imam, pribadi yang baik, juga humoris, dan taat beribadah.
Dika mengutarakan keseriusannya, bahwa tahun depan dia ingin memperistriku. Niatnya tersebut disampaikan kepada Bapak dan Ibuku. Sebagai orang tua, selama anaknya mau, kedua orang tuaku tidak melarang, dan ikut mendukung hubungan kami.
Dia juga tidak berkeberatan menunggu aku selama setahun, yang penting kuliah masterku kelar dulu. Saat itu aku sungguh merasa menjadi wanita yang paling bahagia di dunia, karena calon imamku sangat pengertian. Namun, belum genap satu tahun. Enam bulan kemudian, Dika memutuskan hubungan kita.