Senja

hafitalia
Chapter #6

5

5

=


Menyibukkan diri adalah cara paling efektif membunuh rasa sedih.

Beruntung tugas kuliahku lagi banyak. Sehingga aku tidak perlu memikirkan Dika terus menerus. Kabar yang kuterima dari orang tuaku bahwa kini dia sudah menikah, tidak membuatku berkecil hati. Meski dia tidak mengundangku, aku tidak peduli. Bahkan itu jauh lebih baik, rasanya aku juga malas untuk bertemu.

Bukan karena aku dendam. Melainkan aku tidak mau teringat masa-masa manis, sementara yang aku hadapi justru masa pahit. Aku turut berbahagia dengan pernikahannya. Pernikahan denganku batal hanya karena semesta tak mengizinkan kami bersama, dan Tuhan lebih sayang sama aku. Tuhan pasti telah mempersiapkan jodoh yang lebih baik lagi. Tinggal aku terus memperbaiki diri dan menjemputnya dengan doa dan usaha terbaik.

Selesai kelas, Harumi menghampiriku. Selama ujian berlangsung di kelas, tentu saja kami tidak berani bertegur sapa, karena dosen mengawasi kami dengan ketat.

“Nad, kamu hari ini ada waktu, gak?” Harumi memastikan aku ada waktu untuknya atau tidak.

“Aku mau ngerjain tugas, minggu besok dikumpulkan.”

“Kalau masih minggu besok, bersediakah kamu mengajari materi yang belum aku pahami?”

Aku tidak tega melihat raut wajah Harumi yang sangat memelas. Aku tahu, anak ini selalu mandiri. Sahabat yang tidak pernah merepotkan. Tapi kalau dia meminta tolong, itu berarti dia benar-benar butuh bantuan. Meskipun aku ingin segera menyelesaikan tugas-tugasku sebelum batas waktu tiba. Demi melihat tampang Harumi, aku mengiyakan permohonannya.

“Kamu mau belajar bareng di mana?” tanyaku.

“Penginnya sih di perpustakaan, tapi kan dilarang berisik. Sedangkan aku ingin mendiskusikan banyak hal. Aku masih keteteran di mata kuliah ini. Sementara kamu jago banget di bidang Fisika.”

“Boleh gak, kalau belajar di rumah aku?” Harumi menawarkan.

Aku menimbang-nimbang sebentar. Sudah beberapa tahun berteman baik dengan Harumi, aku belum pernah main ke rumahnya. Meskipun Harumi sering sekali mengajakku, seringkali aku tak sempat—atau tepatnya tidak menyempatkan diri menerima undangan bertamu ke rumah Harumi.

“Oke, kalau begitu kita belajar bersama di rumah kamu, Harumi.”

“Yeeeeey! Arigatou, Nada.”

Harumi berseru kencang dan memelukku. Aku kembali memeluknya. Sebuah pelukan erat di antara kami.

“Hei, kalian lagi pada apa sih, pakai acara pelukan segala!”

Seseorang mengagetkan kami.

Ternyata Mitsuko sedang menonton aksi peluk-pelukan. Disusul kemudian Yuriko dan Kiyoko. Kami berlima memang berteman baik, tapi aku lebih dekat dengan Harumi.

Harumi melepaskan pelukannya.

“Ini, aku lagi minta tolong Nada untuk mengajari aku materi yang belum kupahami. Dia jago banget Fisika. Aku butuh bantuannya untuk mengajariku,” terang Harumi pada Mitsuko, Yuriko dan Kiyoko.

Onegaishimasu[1], Nada.” Harumi dengan tampang memelas memohon bantuan agar aku mau mengajarinya.

Aku hanya mengangguk pelan sambil tersenyum lebar ke arahnya.

“Kalian bertiga ikut sekalian belajar, yuk!” ajak Harumi.

Ketiganya menggelengkan kepala.

Gommennasai[2], Harumi, kali ini belum bisa gabung untuk belajar bersama. Hari ini aku sudah ada janjian dengan Mamaku untuk bertemu dan makan bersama,” sesal Mitsuko.

“Aku hari ini sudah janjian akan mengantarkan adikku main ke toko buku,” Yuriko menjelaskan.

“Kalau aku, sehabis kelas ini selesai, akan pergi makan bareng pacarku,” Kiyoko pun tak bisa bergabung.

Daijoubu[3], ok tidak apa-apa. Lain kali, kalau ada waktu, kita pergi jalan makan bareng, ya. Lagian ketemuan kali ini, aku mau belajar pada sensei Nada,” canda Harumi.

Ketiga sahabatku berpamitan. Sementara aku dan Harumi meninggalkan kampus, dan naik kereta.

Tiga puluh menit kemudian, kereta sampai di tempat tujuan. Sekitar lima belas menit berjalan kaki, sudah sampai di rumah Harumi.

Mamanya Harumi menyambut kedatanganku dengan ramah.

“Halo, Tante. Aku, Nada. Teman satu kampus Harumi.” Aku memperkenalkan diri.

Mama Harumi ramah sekali dan mempersilakanku masuk.

“Harumi sering cerita tentang kamu, Nada. Tante sudah sering meminta Harumi mengajak kamu main ke sini. Tapi Harumi bilang, Nada sering sibuk. Tante senang, akhirnya bisa ketemu kamu.” Terang Mamanya Harumi sambil tersenyum hangat.

“Harumi, mau Mama siapin makan apa?”

“Aku sama Nada sudah makan, Ma. Kami mau langsung belajar di kamarku.”

Harumi mengajakku langsung ke kamarnya. Selesai pamit untuk melaksanakan salat Zuhur di kamar Harumi. Setelah itu aku ikut bergabung di meja belajarnya.

Meskipun aku dan Harumi berbeda keyakinan, tapi dia sangat baik. Misalnya saat waktunya salat, Harumi mempersilakan aku untuk melaksanakan salat.

“Nada, kita langsung belajar bersama, ya. Tolong ajarin aku cara menyelesaikan soal ini. Habis itu, tolong kasih aku latihan soal yang kurang lebih soalnya sejenis ini.” Harumi memintaku penuh semangat, dan aku mengiyakan. Beberapa jam berlalu.

“Nad, aku kesusahan di bagian ini.” Harumi menyodorkan buku catatannya.

Lima menit kemudian, aku menerangkan caranya.

Ganbate kudasai[4], Harumi.” Aku menyemangati sahabatku sambil mengepalkan tangan.

Makasete kudasai[5], Nad.” Serahkan padaku, Harumi menganggukkan kepala, tanda dia mulai paham menyelesaikan soal. Setelah itu, aku kasih soal-soal lagi. Aku sudah terbiasa mengerjakan soal-soal, karena aku senang mengerjakannya.

Aku berkenalan dengan Harumi di tahun pertama kuliah di kampus yang sama, di bulan April. Ini tahun terakhir aku kuliah. Aku sudah terbiasa belajar bersama dengan teman-temanku. Apalagi bila ada teman yang meminta bantuanku. Menjelang ujian semester, biasanya Harumi suka memintaku belajar bersama. Termasuk hari ini.

Menjelang ujian, tidak ada istilahnya menyontek. Tidak ada kesempatan, lagi pula budaya mereka memang sudah terbiasa sejak kecil untuk belajar lebih dulu sebelum menghadapi ujian. Berbeda dengan saat aku kuliah S1 di negaraku, teman-temanku masih ada saja yang sering menyontek saat ujian. Bahkan aku sering dibilang pelit sama teman-temanku, jika tidak memberikan sontekan saat mereka memintanya. Aku sih, tutup kuping saja. Terserah mereka mau bilang apa. Kalau aku memberikannya, sama saja aku membodohi kawan-kawanku, dan mereka jadi semakin malas belajar.

Aku pribadi, sudah diajarkan orang tuaku, jika aku harus belajar keras untuk mendapatkan nilai bagus. Kalau aku belajar sungguh-sungguh, dan memahami pelajaran, maka aku pasti bisa menjawab soal-soal ujian. Ibu dan Bapak tidak pernah memarahiku jika nilai ulanganku jelek. Mereka akan lebih marah jika aku mendapatkan nilai 10 tapi tidak jujur.

Dari kecil, aku termasuk kategori bukan anak dengan IQ yang sangat cerdas. Kelebihanku hanya rajin dan senang belajar. Meskipun kedua orang tuaku secara ekonomi bisa dikatakan cukup. Bapakku seorang pengusaha yang cukup sukses, sementara Ibuku memilih jadi Ibu rumah tangga, mengurus aku dan adikku.

 Meskipun kami berkucukupan, untuk urusan pendidikan aku gigih memperjuangkan agar dapat beasiswa kuliah di luar negeri. Bapakku bilang, untuk kuliah di luar negeri tidak bisa sepenuhnya membiayai. “Kamu cari beasiswa, minimal biaya kuliahnya. Bapak paling bisa bantu untuk biaya hidup saja.”

Sejak itu aku terus semangat belajar. Berkat prestasi yang aku raih, aku dapat beasiswa S1 di dalam negeri.

Selesai kuliah sarjana, aku kerja di sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang marketing selama dua tahun sambil terus mencari-cari beasiswa S2. Kesempatan itu tiba, setelah terus menerus mencoba dan sering gagal, akhirnya aku dapat beasiswa penuh dari Monbukagakusho/MEXT. Sebenarnya, aku sudah mengirimkan lamaran beasiswa sejak SMA, tapi baru setelah lulus kuliah dan bekerja, aku bisa mendapatkan beasiswa ini. Dan setelah mendapat pengumuman resmi, aku mengundurkan diri dari perusahaan tempat aku bekerja.

Lihat selengkapnya