Senja

hafitalia
Chapter #7

6

6



“Fajar, ada di rumah gak?” Akira menelepon Fajar.

“Iya, ada. Kamu lagi di mana?” Suara Fajar cukup lemah. Namun, Akira tidak menyadari karena di tempat dia berdiri sangat ramai. Banyak pengunjung yang sedang ikut antre bersama Akira.

“Aku lagi beli kebab. Tiga puluh menit lagi, aku ke rumahmu, ya. Sekalian bawa kebab kesukaanmu, Bro.” Akira menutup pembicaraan.

Sudah beberapa hari ini tubuh Fajar demam tinggi, badan terasa lemas, tapi dia tidak mengabarkan kondisinya kepada teman-temannya. Kurang istirahat, dan waktunya dihabiskan untuk belajar serta kerja paruh waktu, ditambah profesi sampingannya sebagai video editor, membuat tubuhnya protes karena kurang istirahat.

Akira mengetuk pintu, tapi tidak ada jawaban, ternyata pintunya tidak dikunci. Akira masuk ke sebuah rumah sewaan Fajar yang baru ditinggali lebih dari setahun. Sebelumnya Fajar tinggal di dorm. Tumben sekali dia tidak mengunci pintu, gumam Akira.

Akira memanggil-manggil Fajar tapi masih belum terdengar suaranya. Ruang tengah yang berfungsi sebagai dapur, meja makan, rak berisi buku-buku dan meja belajar yang sekaligus meja kerja saat Fajar mengedit, tampak kosong, tidak ada siapa-siapa. Akira kemudian membuka pintu kamar Fajar.

“Hai Bro,” sapa Fajar terlihat lemas.

“Maaf suaraku serak, jadi kamu gak dengar aku menjawab panggilanku.”

“Bro, kenapa gak ngabarin kalau lagi sakit!”

Akira tampak khawatir melihat kondisi sahabatnya. Kemudian mengecek suhu tubuhnya dan menempelkan termometer.

“40 derajat! Panas banget, Jar.”

“Sejak kapan kamu sakit, Bro?” Kini Akira tampak cemas.

Terus dia menelepon sahabatnya satu per satu. Mulai dari Toshio, Hideki, hingga Yusihiro. Mengabarkan kondisi Fajar, dan meminta mereka segera datang ke rumah Fajar.

Setelah itu, Akira menyiapkan makan untuk Fajar, dan memberi obat.

“Sudah jangan banyak bicara, makan dan minum obatnya.”

“Teman-teman nanti nyusul ke sini. Kalau dalam waktu dua jam setelah minum obat, badanmu masih panas, terpaksa kita akan bawa kamu ke rumah sakit dan diperiksa dokter.”

Mendengar kata dokter, cepat-cepat Fajar memaksakan diri untuk menghabiskan makanan yang disiapkan Akira, meskipun mulutnya terasa pahit.

Akira tahu, Fajar paling takut ketemu dokter. Makanya ketika sakit, dia tidak mengabarkan.

Tanpa disuruh dua kali, Fajar meminum obat yang disodorkan Akira. Beberapa menit kemudian dia tertidur.

Dua jam kemudian, ketiga temannya telah berkumpul di rumah sewaan Fajar yang minimalis tapi terasa nyaman. Terlihat sekali Fajar pandai merawat rumah.

Mereka bertiga tampak cemas, dan menanyakan kabar terkini tentang Fajar. Namun, Akira menjelaskan tidak usah khawatir. Kalau dalam beberapa jam panasnya masih sama, kita bawa ke dokter saja. Mereka berempat bersepakat untuk tidak membangunkan Fajar.

Sambil menunggu Fajar yang kini sedang istirahat, Akira, Toshio, Hideki dan Yusihiro memasak. Saat berkumpul di rumah Fajar, mereka terbiasa memasak. Akira menyiapkan bubur untuk Fajar. Dan yang lainnya memasak yakiniku. Yusihiro tadi sempat mampir ke supermarket membeli beberapa keperluan untuk memasak. Dia pikir mereka kemungkinan akan menginap di rumah Fajar sampai kondisinya pulih.

Setiap beberapa jam, Akira mengecek suhu tubuh Fajar. Dia bersyukur suhu tubuh Fajar tidak sepanas sebelumnya. Keringatnya mulai keluar banyak.

Pukul lima sore, Fajar terbangun dan tubuhnya terasa enteng, kemudian dia mengganti kaosnya yang basah kuyup oleh keringat. Dia keluar dari kamar, dan mendapati keempat sahabatnya sedang sibuk belajar. Kalau mereka sudah berkumpul dan belajar bersama, itu pertanda sebentar lagi ada ujian akhir semester.

Mereka berempat tidak menyadari kehadiran Fajar saking seriusnya belajar dan memelototi soal-soal yang sedang dikerjakan di laptopnya masing-masing. Untung saja, meja makan di rumah Fajar, cukup untuk mereka belajar bersama. Meski tidak terlalu luas, tapi cukup.

“Bro, maaf udah ngerepotin kalian semua.”

Sebuah suara membangunkan kesibukan mereka. Mereka berempat menengok serempak, dan kaget melihat Fajar sudah berdiri dekat mereka.

“Jar, kenapa bangun?” Akira sontak saja langsung berdiri, dia takut Fajar tiba-tiba pingsan. Terus dia langsung menempelkan punggung tangannya di kening Fajar.

Dia pun berseru dan tampak senang.

“Syukurlah, panasnya sudah turun.”

“Ya Tuhan, aku tertidur lima jam. Kenapa kalian tidak membangunkan aku?” protes Fajar, lupa kalau dirinya baru mulai enakan badannya, setelah tiga hari terkapar, dan baru di hari ketiga salah satu sahabatnya mengetahui keadaannya.

“Duduk, Jar.” Toshio, bangkit dan mempersiapkan kursi untuk Fajar.

Arigatou, Bro.”

“Terima kasih kalian sudah datang. Maaf jadi ngerepotin semuanya. Seharusnya kalian semua lagi belajar di rumah masing-masing.” Sesal Fajar.

“Woy, apan sih, Jar. Kita gak ngerasa direpotin. Malahan kita sedih karena kamu gak cerita kalau lagi sakit. Bertahun-tahun di Jepang, baru kali ini aku tahu seorang Fajar yang super heboh ternyata bisa sakit juga.” Goda Akira yang diaminkan oleh sahabat-sahabatnya.

“Gimana nih, kita sudah siap bawa kamu ke dokter, lho. Ayo ganti baju, kita sekalian saja nginep di rumah sakit.” Tak kalah seru, Yusihiro menggoda Fajar.

Kali ini muka Fajar langsung pucat.

“Woy, Bro. Ini sudah enakan, kok. Gak perlu ke dokter. Ini hanya sakit biasa.” Fajar membela diri.

Kemudian mereka berlima tertawa. Bersyukur melihat Fajar sudah mendingan, sekaligus geli melihat ulah Fajar anak yang aktif banget ternyata takut dibawa ke dokter.

“Akira, arigatou sudah ngabarin teman-teman yang lain. Arigatou Bro, kalian semua sudah kumpul di sini. Ini bakalan bikin aku cepat sembuh kalau ada kalian.” Fajar terus membujuk dan meyakinkan sahabat-sahabatnya kalau dia sudah jauh lebih baik.

“Belajar sama kerjanya jangan sampai gila, dong Bro.” Akira mengingatkan.

“Tubuh juga punya batasnya. Jangan terus memaksakan diri. Kamu mungkin merasa sanggup, tapi tubuh kamu belum tentu sanggup.” Toshio menambahkan.

“Makanya, kamu punya pacar saja, biar ada yang ngingetin kamu terus.” Hideki punya pendapat yang berbeda.

Lihat selengkapnya