8
Paginya mereka berangkat bareng naik kereta menuju kampus.
Fajar kini terlihat jauh lebih segar. Ia sangat berterima kasih atas bantuan Akira yang mau merawat dan menemaninya sampai ia merasa sehat. Dia bangga dengan Akira, tak salah ambil jurusan, karena kelak sahabatnya sudah pantas dan siap berprofesi sebagai dokter yang akan tanggap terhadap pasien yang ditanganinya. Hitung-hitung Akira latihan menanganinya saat dia sakit meski tidak sampai dibawa ke rumah sakit dan ditangani dokter.
Sesampainya di kampus, Akira dan Fajar berpisah karena kelas mereka berbeda, hanya jam mata kuliahnya saja yang sama.
“Jar, selesai kelas, jangan keluyuran,” pesan Akira.
“Siiiip, dokter Akira,” canda Fajar.
“Nanti aku ada kelas sampai sore. Malam ini gak bisa nginep di rumahmu lagi,” Akira memberitahu Fajar.
“Alhamdulillah, akhirnya bebas dari pengawasan dokter Akira,” kelakar Fajar.
Terus mereka tertawa.
Sebelum berpisah, Fajar sempat mengatakan pada Akira, “Terima kasih untuk bantuan dan pertolongannya, Bro.”
“Sama-sama, Bro.” Kemudian Akira berlari menuju ruang kelas, takut telat. Terlambat lima menit bisa dikeluarkan dari kelas, dan tentu saja semua murid di kelas berlomba-lomba untuk datang lebih awal.
Fajar memastikan punggung Akira sudah tidak tampak. Kemudian melangkahkan kaki menuju kelas.
Berada di tanah perantauan, sering merindukan Mama, Papa dan adiknya, tapi dia tidak pernah kesepian. Dia beruntung di antara banyak teman yang cukup dia kenal. Masih ada beberapa sahabat yang memedulikannya. Akira, Hideki, Toshio dan Yusihiro adalah sedikit orang langka yang sangat berharga dan ia temukan di Tokyo. Kota terbesar di Jepang.
Dalam hati ia berdoa, semoga persahabatan di antara mereka akan bertahan lama, hingga tua. Keempat sahabatnya bagi Fajar sudah seperti saudaranya sendiri.