10
Malam itu, aku sampai rumah larut malam. Setelah membersihkan diri dan melaksanakan salat, aku menyandarkan tubuhku. Lelah sekali, hanya itu yang bisa kurasakan. Seharian menyibukkan diri di luar rumah. Dengan kesibukan, otakku dipaksa untuk tidak mengingat-ingat kejadian dengan Dika.
Sesi santai sebelum tidur, aku cek WAG—What’sapp Grup, ternyata ada obrolan hangat cerita seputar undangan dari saudara sepupu yang usianya di bawahku, baru lulus kuliah, dan sebentar lagi mau melangsungkan pernikahan. Aku mengucapkan selamat lewat pesan di WAG tersebut. Dan meminta maaf bahwa aku tidak bisa menghadiri undangannya, karena aku belum bisa pulang.
Tahu-tahu, Paman Dimas nongol di grup dengan pesannya.
Paman Dimas:
“Kamu, kapan nyusul, Nada?”
“Inget umur, ya.”
“Pernikahan itu salah satu bentuk pengorbanan untuk menjalankan ibadah.”
“Jangan terlalu banyak milih, deh!”
“Deg!” Jantungku rasanya sesak.
Masih pantaskah bertanya hal seperti itu dalam sebuah grup keluarga yang anggotanya terdiri dari Nenek, Kakek, Ibu, Bapak, adik-adik dan kakaknya Ibu, ditambah sepupu-sepupuku dari yang sudah dewasa hingga sepupuku yang masih kecil.
Helllowwww, apa kata dunia? Aku hanya bisa menggerutu di dalam hati. Apakah Paman ini berpikir sebelum menuliskan pesan macam itu? Demi sopan santun, meskipun sebenarnya hatiku menolak untuk membalas pesan tersebut. Aku membalas WA dari pamanku itu.
Nada:
“Insha Allah, kalau sudah waktunya, Paman.”
Setelah menulis pesan tersebut, aku berpikir positif saja, semoga itu akan menjawab pertanyaan, ledekan atau apalah modusnya.
Ternyata aku salah.
Paman Dimas, adiknya ibuku membalas pesanku panjang kali lebar, dengan menyebut dalil-dalil, yang intinya menikah merupakan salah satu sunnah yang diharuskan oleh Rasulullah, bahkan dalam Al-Quran pun sudah banyak disebutkan bahwa jika sudah waktunya, maka menikahlah. Tidak ada alasan kalau sudah waktunya, yang terpenting maksimalkan usaha dan doanya.
Tadinya aku mau menjelaskan, tapi setelah kupikir-pikir lagi. Gak ada gunanya menjelaskan pada orang yang merasa pendapatnya paling benar, tanpa mau tahu apa yang terjadi. Tanpa peduli dengan apa yang dirasakan orang lain. Aku tidak membalas lagi pesan dari Paman Dimas. Selain Paman Dimas, beberapa saudaraku juga sependapat dengan apa yang disampaikan pamanku tersebut dan mengharapkan aku segera menikah.
“Ya Allah, aku juga mau menikah. Engkau melihat bagaimana usaha yang aku lakukan, meski aku tidak perlu menjelaskan usahaku satu per satu kepada keluargaku. Cukup Engkau yang tahu,” rintihku kepada Sang Maha Pemilik Kehidupan—Allah Swt.
Malam itu, aku seperti diserang oleh beberapa anggota keluarga yang masih mempermasalahkan dan mempertanyakan kenapa aku belum menikah. Sebuah pertanyaan lucu menurutku, apa urusannya mempertanyakan “Kenapa belum menikah?” pertanyaan konyol. Kalau saja sedikit lebih pintar, kalau orang masih belum menikah ya karena memang belum menikah. Sesimpel itu jawabannya. Kenapa harus dipertanyakan?
Kemudian berbagai pertanyaan mengisi kepalaku.