11
Setiap Paman Dimas mengirim surat elektronik, aku sudah bisa menebak isinya ke arah mana. Gak cukup sindiran kalau acara keluarga, di WAG, hingga berkirim surat elektronik. Entah untuk yang keberapa kali. Aku akan selalu membacanya, tapi tidak pernah kubalas. Untuk apa membalas dan menjelaskan pendapatku. Percuma. Cukup balas surat elektronik dan bilang terima kasih, itu saja.
Ujungnya, yang muda ngalah sama yang tua! Karena aku tidak pernah membalas, dan memaafkan kejadian-kejadian yang berlalu. Tampaknya tidak pernah membuatnya puas mengganggu hidupku.
Pikirnya mungkin ini bentuk peduli. Padahal bentuk peduli itu tidak harus selalu merasa paling tahu tentang hidupku dan mencampuri urusanku.
Paman tidak pernah merasa lelah mengurus hidupku. Selama aku belum menikah, akan selalu ada Paman Dimas yang menghantui hidupku. Mungkin kalau aku sudah menikah, nanti ribet seperti orang pada umumnya, menanyakan sesuatu yang tidak perlu ditanyakan. Setelah menikah, kapan punya anak? Setelah punya anak, kapan nambah anak? Selanjutnya bisa ditebak, kapan punya cucu, kenapa anaknya begini dan begitu. Paman cerewetnya melebihi perempuan.
Aku tidak pernah percaya dengan teori bahwa perempuan itu cerewet. Dalam dunia nyata, kaum pria juga ada yang cerewet.
Aku tidak mau ambil pusing dan memikirkan isi suratnya. Malam itu aku ingin membiarkan tubuhku berbaring dan menutup mata hingga waktu sepertiga malam membangunkanku.
***
Seminggu kemudian, selesai kelas, aku duduk di bangku beratapkan pohon yang rindang menjelang matahari terbenam. Sebelum pulang, aku ingin menikmati warna jingga yang akan menyambut malam.
Sambil menunggu, aku minum milk tea dingin yang kubeli di kantin. Aku cek beberapa notifikasi surat elektronik yang masuk. Aku scroll ke bawah, baru ingat ada surat elektronik dari Paman yang belum aku baca.
Tidak ada judul. Aku mengerutkan alis, baru kali ini Paman mengirim surat elektronik tanpa subjek. Macam kirim surat kaleng saja, pikirku.
Klik! Kubuka surat elektronik-nya.
Tidak ada salam pembuka. Lagi-lagi aku heran, ini surat benar-benar gak biasa, gumamku dalam hati.
Dugaanku tidak melesat.
Nada, usiamu kini memasuki kepala tiga. Harusnya kamu sudah menikah di usia tersebut. Untuk apa menunda-nunda pernikahan.
Harusnya kamu mengikuti saran Paman. Sebelum berangkat melanjutkan kuliah, kamu nikah dulu. Keasyikan kuliah, kamu lupa nikah. Atau sebetulnya, coba waktu itu kamu ikut saran Paman, untuk melangsungkan pernikahan secepatnya dengan Dika. Tidak seharusnya kamu sekarang jomlo, di usia segitu.
Sayang sekali, kini kamu harus kehilangan orang sebaik Dika. Paman juga kalau jadi Dika, males banget harus nunggu beberapa bulan, apalagi setahun. Toh masih banyak wanita lebih muda yang bisa dinikahi.
Paman sangat kecewa punya keponakan kayak kamu. Kamu tahu Nada, di keluarga besar kita, hanya kamu yang di usia segini belum nikah. Memang kamu gak mikirin adik kamu? Jangan sampai kamu diduluin nikah sama adik kamu.
Kakak-kakak sepupumu sudah pada nikah semua. Terus sekarang, adik sepupu kamu si Tiara aja udah mau nikah. Kamu mau nyusul kapan? Selesai kuliah S2-mu? Lagian percuma kuliah jauh-jauh dan tinggi, perempuan itu ujung-ujungnya mau sekolah setinggi apa pun toh urusannya ke dapur juga!!
Perlu kamu tahu, Tante Keti—adik Ibumu sering cerita sama Paman, katanya kasian lihat kamu masih sendiri. Ditambah sekarang Tiara mau nikah di usia muda. Terus apa kata orang dan tetangga yang sering nanyain kabar kamu. Memangnya kamu gak kasian lihat orang tua kamu sering tanya kapan anak pertamanya nikah? Cucunya sudah berapa?
Bapak kamu memang keterlaluan, gak pernah berusaha mencarikan jodoh yang benar-benar untuk kamu. Terlalu lemah!!! Selalu kalah sama argumen anaknya yang banyak alasan belum sreglah sama pria A, gak sreg-lah sama pria B, gak sreglah sama pria C. Kalau kayak gitu terus, mau sampai kapan? Sama anak kok terlalu lembek!
Bukan hanya Paman, adiknya Bapakmu—Paman Anto juga sependapat dengan Paman. Bapak kamu membiarkan kamu hidup sendiri terlalu lama. Ditambah mengizinkan kamu ambil kuliah di luar negeri. Makin jadi deh anaknya punya pemikiran ala Barat.
Ibu kamu, sering sakit-sakitan gara-gara banyak mikirin kamu. Dulu sering meminta Paman untuk mencarikan calon buat kamu. Tapi sekarang memang tidak pernah memintanya lagi, karena selalu berujung gagal.
Kamu gak takut dosa hidup melajang, Nada? Kan nikah itu sunnah dari Rasulullah. Kalau mengaku bagian dari pengikut Nabi, terus kenapa kamu tidak melaksanakan apa yang menjadi sunnah?
Ingatlah Nada. Menikah itu pengorbanan. Kalau yang ada dipikiran bagaimana cara mendapatkan pria yang dicintai, sampai kapan pun ya kamu sendiri terus. Coba deh, kalau ada yang deketin kamu, meskipun kamu tidak cinta pada awalnya, niatkan saja untuk ibadah. Semoga itu akan menjadi jalan agar kamu bisa menikah. Kamu tahu, dulu Paman tidak cinta sama Bibimu, tapi Paman hanya niatkan untuk ibadah. Kamu lihat sekarang Paman dikarunia anak-anak yang berprestasi dan membanggakan. Keempat anak paman kuliah di universitas negeri yang bonafid. Malah anak Paman yang pertama sudah punya calon seorang pengusaha. Jangan sampai kamu kebalap lagi, sama Tina.
Ingat usia kamu Nada, kita semua prihatin melihat kamu.
Sepanjang membaca kata per kata surat tersebut. Dadaku terasa sesak sekali. Berkali-kali aku menarik napas dalam-dalam, dan mengeluarkan napas panjang. Aku berusaha mati-matian menahan bendungan air mata yang seandainya ada kasur, ingin kuluapkan dalam pelukan bantal guling.
Tanpa di sadari, ada seorang pria yang sedang mematung memperhatikanku.
Fajar berjalan santai pulang dari kelas terakhir yang diikutinya hari ini.
Awalnya, dia ingin mengagetkanku. Tapi setelah dia memperhatikan dengan teliti, raut wajahku tidak biasa. Dia tidak buru-buru pergi, malah berdiri tepat di samping bangku yang diduduki olehku.
Sebentar lagi, warna jingga akan tertelan oleh gelapnya malam, tapi aku tidak memperhatikan matahari terbenam yang awalnya kuniatkan untuk menyaksikan langsung momen kesukaanku—melihat sunset.
Fajar tertegun melihat indahnya sunset di sore itu. “Masha Allah, indah sekali,” gumamnya dalam hati. Kemudian saat melirik ke arahku yang belum menyadari keberadaannya, tiba-tiba dadanya terasa sesak melihat aku sedang menahan sesuatu.
“Woiiiii, samperin dong, jangan diam saja!” seseorang membisikkan kata-kata tersebut di dekat telinga.
Dari suaranya, Fajar sudah hafal.